Surat [11]: Ungkapan Tersirat

599 134 11
                                    

Kata tersirat itu ada, karena terlalu malu untuk diungkapkan secara langsung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kata tersirat itu ada, karena terlalu malu untuk diungkapkan secara langsung.

.

Waktu telah menunjukkan pukul setengah lima sore.

Yah, itu yang diketahui Dhanu lewat jam tangannya. Suasana kantornya sudah mulai lengang sejak pukul empat tadi, jika lelaki itu niat seharusnya ia telah beranjak dari sana sejak awal. Tetapi, ia memutuskan menunggu di kantor beberapa puluh menit lebih lambat dari biasanya. Pun setelahnya, ia segera bergegas pergi dari kantor gedung tinggi itu.

Jumat sore biasanya hari paling menyenangkan bagi orang-orang berstatus budak kooperat, termasuk Dhanu. Namun, ia merasa lebih bersemangat lagi saat mengingat hari ini penting. Karena, hari ini adalah hari yang penting bagi Dhanu. Minggu lalu ada kabar menggembirakan, Rara telah resmi bekerja dan jarak kantornya tak terlalu jauh ditempuh oleh laki-laki itu. Waktu mengabari hal ini, Rara sempat menjanjikan pergi bersama untuk ditraktir olehnya—padahal Dhanu bahkan belum terpikirkan untuk menraktir Rara tentang kabar gembiranya dulu.

Untunglah kali ini ia membawa sepeda motor kesayangannya, jadi ia bisa pastikan tidak akan terlambat. Dhanu sudah merencanakannya dengan matang; ia akan pergi menjemput Rara di JPO dekat shelter busway, jadi ia akan memarkirkan motornya di parkiran stasiun dan melanjutkan perjalanan menggunakan MRT, lalu berjalan kaki sedikit menuju JPO dekat shelter.

Sebenarnya akan lebih baik langsung saja naik motor, namun berhubung hari ini Jumat sore yang jalannya akan super padat dan akan berjalan-jalan bersama Rara, jadi Dhanu memilih begini. Selama perjalanan, Dhanu mencoba memikirkan topik apa yang ingin dibicarakan bersama gadis itu sambil mengoperasikan ponselnya untuk mengabari kekasihnya.

Kekasih. Dhanu mendengkus, menahan senyum yang sulit ia lakukan. Sejujurnya, ia masih belum percaya sampai saat ini jika Nararya memang menjadi rumahnya kini.

Senyum Dhanu tak dapat ditahan ketika langkahnya telah sampai di tujuan dan melihat perempuan yang sedang berdiri di JPO sambil mengamati kemacetan. Surai hitam sepunggungnya diikat tinggi, membuat Dhanu teringat sosok Rara sewaktu kuliah saat sedang mengerjakan skripsi dulu.

Diam-diam Dhanu mendekati perempuan itu dan berdiri di sampingnya sambil bilang, "Jadi, udah berapa mobil yang dihitung, Mbak Raya?"

Otomatis gadis itu menoleh ke sumber suara, lalu tertawa lega. "Mas Dhanu ngagetin!" gerung Rara sambil memukul lengan Dhanu. "Dari kapan?"

"Baru aja," ujar Dhanu sambil terkekeh geli. "Omong-omong, udah tahu belum yang mana mobil impian kamu?"

Rara menggeleng. "Nggak ada yang satu selera sama saya," balasnya. "Lagian, baru seminggu masuk kerja udah mikirin mobil aja!"

"Dipikirin doang nggak apa-apa, Raya. 'Kan nggak ada yang larang," sahut Dhanu. "Kecuali, kalau mikir itu bayar, kita udah miskin duluan."

"Jadi, kalau gitu, misal saya cuma mikirin kamu, udah bisa bikin miskin ya?" tanya Rara.

Sepucuk SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang