Bahkan ketika kamu mau tumbang, Tuhan akan selalu bersamamu melalui orang baik.
.
"Gimana perasaannya jadi anak kantoran?"
"Kira-kira, saya boleh nyerah sekarang nggak?"
Dhanu memandang Rara yang kini bertanya, ketika mereka sedang berjalan beriringan. Hanya berjalan perlahan, sedangkan manik mata Rara berkelana memandangi kota Jakarta yang tak pernah menjadi kota mati. Kota metropolitan yang keras, tak pernah berhenti meski lelah, dan penat yang terasa seolah tak ada arti usai. Penuh cerita yang bahkan tak pernah tahu ada apa saja di dalamnya.
Sambil berkeliling menikmati suasana malam kota besar dengan menaiki busway, Rara dan Dhanu duduk berdampingan di kursi bagian tengah. Sengaja, karena mereka memang tak ingin mengambil kursi belakang.
Dhanu mengulas senyum kecil. "Udah berapa lama bertahan di situasi sekarang?"
Rara tampak berpikir. "Lima bulan, mungkin?"
"Yakin mau berhenti?" tanya Dhanu memastikan. "Coba sini kasih tahu saya, alasan apa yang bikin kamu mikir gini. Ingat, saya nggak akan maksa kamu. Tapi, cukup jelasin ke saya."
Rara menelan ludahnya dengan susah payah, berusaha angkat bicara setelah sejak tadi berpikir keras. "Ini berat banget, aku ngerasa nggak bakalan sanggup buat ngehadapin ini sendirian. Tapi, sekelilingku semuanya orang baik. Mereka dukung aku, yang bahkan di sini aku pesimis sama diriku sendiri. Semuanya jadi kelihatan makin rumit dan terasa berat seolah mereka emang naruh harapan gede banget ke aku."
"As always." Dhanu menimpali sambil tersenyum kecil.
"Yeah, Nararya yang terlalu kepikiran dan jadi pesimis," sambung Rara sambil mencibir, memang berniat mengejek dirinya. "Aku sebal sama diriku sendiri."
"Kalau gini, resolusi kamu buat sayangin diri kamu sendiri langsung pupus dong?" tanya Dhanu, nadanya terdengar jadi serius. "Semua orang dukung kamu bukan tanpa alasan kok. Mereka tahu kamu mampu, saya juga tahu kamu pasti bisa ngatasin masa rentan kayak gini."
"Mereka terlalu baik untuk mikirin saya sampai sebegitunya," balas Rara bersikeras. "Mas Dhanu capek nggak ngehadapin aku kayak gini?"
"Capek," ucap Dhanu terus terang. "Tapi, saya nggak bisa ninggalin kamu. Kita tahu semuanya bakalan baik-baik aja cepat atau lambat. Waktu itu nggak akan berlalu secara instan, walaupun kamu ngerasa berat. Saya nggak pernah larang kamu buat ngeluhin banyak hal, kamu juga pasti tahu porsinya untuk ngeluh itu seberapa. Kamu nggak akan teriak keras-keras kalau kamu capek, karena kamu cuma bisa ngutarain ini dan besoknya kamu tetap jalanin itu. Teman-teman kamu tahu, Ayah sama Ibu juga tahu, saya tahu."
"Tahu nggak, saya bahkan lebih capek sama diri saya sendiri yang selemah ini. Jadi orang kuat itu ujiannya berat banget. Kasih tahu saya, gimana caranya saya bertahan."
Hening.
Dhanu melirik sebentar ke arah Rara yang memilih memalingkan wajahnya ke arah jendela. Jadi, ia memilih berbisik ke telinga Rara. "Raya, kamu ingat waktu skripsian nggak?"
Pun ketika Rara menoleh, gadis itu langsung menahan napas saat melihat wajah Dhanu berjarak amat dekat. Bahkan sampai ia bisa merasakan embusan napas yang menerpa wajahnya. Laki-laki itu habis mengunyah permen rasa mint, jadi Rara sendiri tak bisa untuk tidak mengetahuinya.
"Apa yang mau kamu bahas dari topik itu?" Rara bertanya ingin tahu sambil terus berusaha mengendalikan dirinya.
Melihat itu, Dhanu kembali terkekeh. "Ingat nggak?"
"Iya lah!" seru Rara menggebu-gebu. "Saya nggak akan lupa!"
"Saya juga," sahut Dhanu.
"Waktu itu rasanya pengen banget nyerah, tapi nggak bisa. Saya nggak bisa ngecewain siapa-siapa lagi. Saya takut kalau saya yang bikin kecewa orang lain, tapi orang lain bilang itu demi diri saya sendiri," papar Rara.
"Sekarang juga gitu," balas Dhanu. "Semuanya lancar 'kan?"
Rara mengangguk. "Ya."
"Baik-baik aja 'kan?"
"Iya."
"Nah, apa lagi alasan kamu buat nyerah?"
Rara belum berani menjawab. Ia memilih memandang lekat Dhanu yang masih menatapnya penuh tanya, yang kemudian bangkit dari duduknya sambil mengulurkan tangannya.
"Ayo turun," ajak Dhanu. "Kita mau sampai."
Rara mengangguk, tapi ia masih belum membalas uluran tangan cowok itu beberapa detik. Hingga membuat dahi Dhanu mengerut bingung. "Raya?"
"Aku nggak ada alasan buat nyerah," respon Rara cepat sambil membalas uluran tangan Dhanu. "karena kamu yang ngajarin buat bertahan."
Bersamaan itu deru busway semakin memelan saat jarak semakin mendekati selter berikutnya. Membuat sudut bibir Dhanu terangkat sempurna mendengarnya, lalu berjalan beriringan saat Rara sudah bangkit dari duduknya.
"Aku juga belajar dari kamu cara jadi orang kuat secara nggak sadar," balas Dhanu. "Kita masih saling nguatin, ingat itu."
[]
Backsound: Tulus – Nala
Ini adalah draf dari 2 bulan lalu yang rencananya buat hadiah ultah mas doy, tapi mendadak stuk karena pusing revisi habis-habisan dan baru dilanjutkan hari ini setelah buka draf lama ini lagi. hahaha! Maafin pendek banget. Yaudah, semoga rindunya sama Dhanu-Rara tersampaikan yaaa! Kritik dan saran dapat disampaikan di sini! Terima kasih sudah membaca! Semoga kalian selalu sehat dan bahagia! Semangat selalu!
p.s. jangan lupa ikutan PO Serendipity: Undercover Fate ya hehehehe!
-Ai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepucuk Surat
Short Story[LENGKAP] Buku Kedua: Serendipity: Undercover Fate Kumpulan kata yang tersurat dari Dhanurendra Akasha dan Nararya Anindita dalam tiap sepucuk surat. Lewat sepucuk surat ini, mereka akan menemukan banyak sisi lain dalam diri masing-masing dan belaja...