Dua puluh tiga

52 9 0
                                    

Hembusan nafas terdengar berat dari seseorang, membuat kesan gelisah. Matahari sudah meninggi namun gadis itu masih enggan keluar dari kamarnya. Tekadnya kemarin mendadak hilang saat waktunya tiba, ingin rasanya kembali menunda jadwal sekolahnya, namun sayangnya hal itu tak bisa dilakukannya. Sudah beberapa kali pintu kamarnya berbunyi karena ketukan kakaknya. Ayolah, ia garus berusaha menjadi pemberani. Mau sampai kapan menjadi pengecut dengan lari dari masalah hidupmu sendiri.

Melli memejamkan sejenak matanya, menarik nafas dalam-dalam, setelah itu ia menganggukan kepalanya kemudian bangkit dari duduknya. Membuka pintu yang sejak tadi berbunyi. Di depannya kini sudah ada Vanya yang menunggu kehadirannya.

"Ayo kak, aku siap."

Vanya mengangguk, berjalan lebih dulu dari Melli. Membiarkan adiknya berjalan dengan tenang, diam-diam Vanya tersenyum. Karena ia kira, Melli akan kembali menolak untuk datang ke sekolah.

Sepanjang perjalanan Melli terus melilitkan kedua tangannya satu sama lain, seolah tengah mengusir rasa gugupnya itu. Tak disangka ternyata sejak tadi Vanya memperhatikan tingkah adiknya. Kali ini Vanya memilih diam, membiarkan adiknya melawan rasa takutnya sendiri.

Mobil berhenti saat didepan pintu gerbang. Ada jeda sejenak saat Melli akan turun. Wajahnya memucat dan tangannya sangat dingin, namun meski begitu tak membuat Melli lari dari pendiriannya.

"Kak, aku berangkat."

"Iya, hati-hati."

Melli mengangguk, berjalan kearah sekolah. Semua masih berjalan normal dan baik-baik saja, semoga saat dikelas pun sama. Namun sayangnya pemikiran itu salah, sesampainya dikelas, Melli justru mendapat tatapan-tatapan sinis yang dituju kepadanya, baik perempuan maupun laki-laki. Melli menelan salivanya susah payah, menetralisir detak jantungnya yang berdegup kencang, membuatnya kesulitan bernafas karena pasokan udara yang semakin mencekam.

"Lo udah gak teriak-teriak lagi?"

Kerin bersuara, membuat banyak orang menertawainya. Melli takut, takut semua yang dulu terjadi akan kembali.

"Coba, lo ulang yang kemarin."

Satu kelas tertawa, menertawakan ucapan laki-laki yang baru saja bersuara. Membuat Melli diam seribu bahasa. Seolah dirinya adalah pusat tawaan. Melli menaruh tasnya, kemudian pergi meninggalkan kelas yang masih terdengar suara tawaan.

Melli berlari, menuju tempat yang biasa ia kunjungi. Menghiraukan pasang mata yang menatap kearahnya. Tawa itu, ledekan itu, semua masih membekas dipikirannya, sekelebat bayangan masa lalunya kembali.

Melli mengunci ruangan yang biasa ia datangi. Berlari kesudut ruangan, menduduki dirinya dilantai dengan kepala yang menunduk. Ketakutannya menjadi nyata, dirinya ditertawakan saat traumanya kambuh. Menjatuhkan rasa percaya diri yang tadinya mulai terbentuk. Ini semua seperti dejavu baginya dan Melli tidak ingin merasakannya lagi.

Persetan dengan sekolah, ia hanya ingin menenangkan diri sampai benar-benar tenang. Semuanya barang yang penting Melli tinggal dalam tasnya, ponsel, uang atau apapun itu. Tanpa sadar rasa kantuk mulai menyerangnya, memejamkan matanya sejenak hingga tak sadar Melli sudah berada di alam mimpinya.

***

Jam semakin sore, membuat ketiga orang itu khawatir. Tentu saja, Farel, Arya dan Intan. Mereka terus melirik kursi Melli, di sana hanya terdapat tas Melli tidak dengan orangnya. Tidak ada satu pun diantara ketiganya yang tahu kejadian tadi, sehingga mereka hanya mengira bahwa Melli berniat bolos.

Hingga pelajaran berakhir Melli masih belum kembali. Berapa kali saja guru menanyakan keberadaan Melli, namun tak ada satu pun yang tahu. justru teman satu kelasnya menjawabnya dengan sembrono, membuat Farel kesal.

Ombrophobia (COMPLATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang