Lima

121 20 0
                                    

Selama di perjalanan Melli hanya menatap kearah luar jendela, seolah pemandangan diluar terlihat sangat indah sehingga enggan menatap kearah lain.

Hari ini Vanya ikut serta menjemput Melli, mengingat hari ini adalah waktu untuk dirinya tetapi. Meski sebenarnya dirinya tak ingin pergi, tapi dirinya tidak boleh menundanya lagi.

Pikirannya terus mengingat pada kejadian di kelasnya, tepat saat waktu istirahat. Salah satu teman sekolah dasarnya dulu kini berada dikelas yang sama dengannya.

"Apa kabar Mellita Anggraini..."

  "....anak pembawa sial."

Deg

Melli mengalihkan atensinya pada seseorang dihadapannya. Seseorang yang sangat Melli ingat dengan jelas. Seseorang yang dulu menuduh dirinya sebagai orang yang mendorongnya.

  "Apa kabar Mellita Anggraini. Masih kenal dengan gue?"

"Ke..kerin." ucap Melli gugup.

Kepala Melli mendadak pusing, perlahan ingatan dimasa lalunya berputar dalam pikirannya. Bukan hanya kepalanya yang pusing kini dadanya juga terasa sesak seolah Melli tidak dapat menghirup oksigen disekitarnya.

Melli mulai menutup telinganya dengan kedua tangannya. Air matanya turun begitu saja tanpa izin. Suara cibiran orang-orang mulai mengiang ditelinganya.

Kerin hanya tersenyum tanpa ada niatan untuk menolong. Dikelas ini hanya ada Melli dan juga Kerin, sehingga tidak ada yang bisa menolong Melli yang sedang kesakitan.

"Apa sekarang Lo jadi orang gila setelah stres menjadi anak pembawa sial." Ucap Kerin sinis.

"Ah, percuma ngomong sama orang yang stres seperti Lo."



"Apa ada masalah disekolah?"

Melli mengalihkan pandangannya mengarah Vanya. Tatapannya terlihat sendu dan Vanya dapat melihat itu. Apa sebegitu takutnya adiknya terapi, jika begitu lebih baik Vanya tidak memaksanya.

"Apa kau takut untuk terapi? Jika iya, maka kita tunda dulu sampai kau benar-benar siap. Kakak tak akan memaksanya," ucap Vanya

"Tidak perlu, aku hanya sedikit pusing itu saja," jawab Melli dengan lirih namun masih dapat didengar oleh Vanya.

Melli memilih untuk memejamkan matanya dan menyenderkan kepalanya pada kursi mobil. Jujur memang sejak kejadian tadi  dirinya merasa pusing.

"Pak, tolong mutar balik. Kita pulang saja sekarang."

"Baik bu."

Melli membuka matanya setelah mendengar ucapan Kakaknya itu. Kenapa tiba-tiba dibatalkan, apa karena dirinya terlihat lemas mangkanya Kakaknya berfikir dirinya takut. Jika pun takut, dirinya tetap tidak akan membatalkannya.

"Tidak pak, tetap ke rumah sakit jangan dengarkan kak Vanya." Ucap Melli

"Tidak. Pak tolong kita pulang saja." Ucap Vanya

Melli menatap Kakaknya kesal sekaligus geram. Ada apa dengan kakaknya, kenapa tiba-tiba membatalkannya.

  Melli kembali memejamkan matanya dirinya sudah tidak punya tenaga untuk berdebat dengan kakaknya. Hingga akhirnya kesadaran Melli mulai terenggut oleh alam mimpinya selama diperjalanan.

Vanya menghela nafas, ia tahu jika adiknya hanya ingin membuat dirinya tak sedih saat adiknya itu sedang kambuh. Tapi jujur, melihat adiknya seperti ini justru malah membuatnya sakit. Vanya hanya ingin Melli terapi karena keinginannya untuk sembuh bukan karena dirinya.

Ombrophobia (COMPLATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang