Sepuluh

99 10 0
                                    

Melli masih berada diarea sekolah, sementara siswa lainnya mungkin sudah berada dirumahnya masing-masing. Melli menggerutu atas perbuatannya tadi pagi, andai saja ia tidak pergi keruang musik, mungkin saat ini dirinya juga sudah ada di kamarnya.

Melli memandang sekelilingnya yang sudah sepi, apa mungkin karena tinggal dirinya saja yang masih berada disekolah. Melli sedikit tersenyum membayangkan bagaimana ramainya sekolah jika semua murid masih ada disini, benar-benar berbeda seratus delapan pulih derajat dengan keadaan sekarang yang sepi seperti ini.

Tuk

Melli menoleh saat pundaknya ditepuk oleh seseorang. Sosok itu tersenyum dengan ramah dan manis. Ada apa ini, kenapa wali kelasnya itu tersenyum seperti itu pada anak yang telah melanggar peraturan. Ah, Melli jadi takut sendiri.

"Maaf ya, rapatnya terlalu lama. Ayo, kakak kamu pasti sudah menunggu."

Melli mengangguk dan akhirnya mengikuti kemana arah pergi gurunya. Dalam hati Melli selalu bertanya kemana gurunya akan membawa pergi, pasalnya ini bukan jalan kearah kantor melainkan keluar sekolah.

Setelah lama berjalan akhirnya mereka sampai. Melli dan wali kelasnya masuk. Dan benar saja  disalah satu bangku sudah ada kakaknya yang asik dengan leptopnya. Apa-apaan ini, kenapa gurunya mengajak kakaknya bertemu di tempat seperti ini.

"Akhirnya sampai juga lo, gue udah lama nih nunggu disini."

Melli masih diam dan mengacuhkan percakapan antara wali kelasnya dan kakaknya. pandangannya masih terpaku dengan yang ada di ruangan ini. Bagaimana bunga-bunga itu terpasang di setiap sudut ruangan dan alunan musik yang sangat indah, belum lagi wangi lilin itu. Ah, benar-benar menyegarkan Melli bahkan hanyut kedalam pikirannya yang tenang dan tentram.

Namun beberapa detik kemudian Melli sadar, gadis itu menoleh kearah guru dan kakaknya. Bertanya-tanya mengapa gurunya membawa dirinya ke cafe seperti ini, ya meski Melli akui tempat ini lebih bagus dari pada kantor guru atau ruang BP di sekolahnya, tetapi tetap saja ini aneh.

"Apa kamu akan terus berdiri?" tanya Vanya

Melli menatap kursi disebelah gurunya dan mendudukinya di sana. Melli semakin bingung melihat bagaimana interaksi gurunya dan kakaknya yang terlihat sudah kenal satu sama lain.  Melli masih diam menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Untung pihak sekolah tidak keberatan dengan permintaan gue. Lo sih, minta yang enggak-enggak."

Vanya terkekeh. "Hehe maaf tapi makasih ya."

Fitri mengangguk kemudian menatap Melli. "Ah, iya gue lupa. Adik lo ini tadi kepergok gue diruang musik."

Vanya yang mendengar itu segera menatap Melli sejenak lalu kembali menatap Fitri.

"Apa gue bilang, dia pasti kayak gitu. Mangkanya gue minta tolong sama lo jagain Melli selama disekolah."

Melli semakin bingung arah percakapan dua orang didekatnya. Menjaga? Apa maksudnya, apa kakaknya mengenal wali kelasnya dengan baik. Ayolah bahkan dirinya saja hingga saat ini belum tahu nama wali kelasnya.

"Melli, apa kamu masih belum ingat siapa guru kamu ini?" tanya Vanya

Melli menoleh kearah kakaknya. Lagi-lagi kakaknya itu bisa mengetahui isi pikirannya. Apa kakaknya mungkin  mempunyai sejenis kemampuan membaca pikiran. Entahlah Melli tidak yakin dengan itu.

"Ya ampun, memangnya sebeda apa orang disebelahmu ini, sampai kau melupakan teman kakakmu yang sering datang kerumah mu dulu." ucap Fitri.

Melli diam mencerna yang baru saja diucapkan wali kelasnya. Ia berusaha mengingat kejadian yang sudah lama itu, kejadian saat kakaknya yang sering membawa teman saat masih pelajar dulu. Hingga akhirnya selang beberapa menit Melli dapat mengingat apa yang dimaksud wali kelasnya ini.

"Bagaimana sudah mengingatnya?" tanya Vanya.

Melli mengangguk sebagai jawabannya. Sungguh Melli tidak dapat mengenal sosok kakak kedua yang selalu datang menghibur Melli saat itu. Tapi ada pertanyaan yang membuatnya bingung, apa yang direncanakan kakaknya dan gurunya ini.

"Melli, bisa panggil kakak saja saat diluar sekolah?"

Lagi-lagi Melli hanya mengangguk sebagai jawabannya sementara kedua orang itu hanya bisa menghela nafas. Sunggu membuat Melli banyak bicara itu sulit.

***

Udara sejak semalam sangatlah dingin hingga membuat Melli malas bangun dari tidurnya dan terus berpacaran dengan kasurnya, tentu saja tidur. Sungguh, udara diluar sangatlah dingin. Bahkan Melli berani bertaruh jika banyak orang yang akan malas bangun dari kasurnya, sama seperti dirinya. Bahkan suara jam weker, ayam berkokok, ataupun teriakan Vanya, tidak mempan untuk membangunkan  Melli yang benar-benar kelewat nyenyak.

"MELLI!! BANGUN ATAU KAKAK MASUK KEKAMAR KAMU!!"

Bukan Melli namanya jika langsung bangun dengan suara teriakan kakaknya. Melli sempat membuka matanya tapi sedetik kemudian ia menutupnya kembali. Dan bukan Vanya pula jika tidak menepati teriakannya tadi.

Pintu kamar Melli terbuka dan disana terdapat seseorang tengah berdiri. Tanpa ragu orang itu masuk dan menatap Melli dari pinggir kasur. Orang itu terkekeh, berjalan menuju jendela dan membukanya lebar-lebar agar cahaya matahari dapat masuk kedalamnya. Dan tentu saja itu sukses membangunkan Melli dari tidurnya. Bukan, bukan membangunkannya tapi hanya membuatnya terusik.  "Sampai kapan lo akan tidur."


Satu detik




Dua detik








Tiga detik




Tepat di detik keempat mata Melli terbuka sempurna. Ia tahu dengan jelas bagaimana suara kakaknya, tapi suara tadi, Melli juga tahu itu bukan suara kakaknya. Dengan cepat Melli mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap sosok di kamarnya.

"Bagaimana, lo kaget gak?"

"Farel. Kok lo..."

Melli menggantungkan kalimatnya begitu Vanya datang dengan tatapan galaknya. "Oh, sudah bangun ternyata."

Vanya menoleh kearah Farel sambil tersenyum. "Rel, makasih ya."

"Sama-sama kak."

Melli memutar bola matanya malas, lagi-lagi ada orang lain di kamarnya selain dirinya. Tapi ini aneh, bagaimana bisa Farel pagi-pagi ada disini. Bukan, bukan itu maksud Melli. Maksudnya adalah apakah Vanya menelfon Farel sepagi ini untuk membangunkannya. Tapi sepertinya tidak, masa iya kakaknya seperti itu.

"Farel ayo makan kak Vanya udah memasak."

"Iya kak."

Vanya pergi meninggalkan Farel dan Melli. Dan tepat Vanya pergi, Melli bangkit dari tempat tidurnya, menutup hordengnya kembali. Dan tentunya itu sukses membuat Farel bertanya-tanya.

"Kenapa lo tutup, buka aja biar cahayanya masuk." ujar Farel

"Lo udah sukses bangunin gue kan. Sekarang lo bisa tinggalin gue." ucap Melli

"Ini gue mau keluar. Ouh iya jangan lupa lo siap-siap, gue udah nunggu lo dari dari tadi." ucap Farel sambil pergi.

"Siap-siap? Emangnya gue mau kemana?"

Farel menghentikan langkahnya tepat didepan pintu. "Lo lupa, bukannya lo yang ngajak gue joging pagi-pagi."

Mata Melli membulat. Apa katanya tadi, ngajak joging. Sejak kapan? Sepertinya ada yang tidak beres disini. Ah, ponsel. Dimana ponsel itu. Melli harus melihatnya.

Sementara Melli mencari ponselnya, Farel kembali berjalan meninggalkan kamar Melli. Begitu ketemu, Melli mengecek ponselnya itu dan benar, dalam ponselnya terdapat satu percakapan antara dirinya dengan Farel. Parahnya memang di sana tertulis jika dirinya lah yang mengajak Farel joging. Melli menggerutu, kakaknya itu selalu membuat ulah tanpa sepengetahuannya.

"Dasar.." umpat Melli begitu saja







































Tbc...

Ombrophobia (COMPLATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang