Tiga

156 22 2
                                    

   Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi anehnya Melli enggan menutup mata, bukan karna tidak ingin, memang karena tidak bisa. Sejak tadi perasaannya selalu was-was mengingat diluar sana sedang gerimis.

   Ya, mungkin jika gerimis phobia Melli masih bisa ia kontrol tapi jika hujan turun sudah sangat deras mungkin dirinya akan sulit mengontrol dirinya.

   Melli masih duduk di atas kasurnya sambil memeluk selimut yang sudah membungkus dirinya. Tubuhnya gemetar hebat, hujan diluar semakin lama terdengar semakin kencang.

   Melli menutup telinganya sambil memejamkan matanya. Perlahan memori dimasa kelamnya mulai membentuk diotaknya.

   "Ayo kita main hujan-hujanan."

  "Ayo kejar."

  "Tunggu, jangan terlalu jauh."

  "Awas.."

  Brakkk

"TIDAK, JANGAN..."

"AGGHHH."

"ITU BUKAN AKU, BUKAN!!!"

  Melli menggelengkan kepalanya, kini kepalanya mulai terasa pusing, bahkan rasanya seperti akan meledak. Posisinya sekarang bukan lagi diatas kasur melainkan dilantai dengan posisi meringkuk.

  Jederrrr

   Melli semakin meringkuk dilantai dingin sambil memegang kedua telinganya berharap agar suara petir itu tidak terdengar, namun sepertinya hal itu tidak mempan karna dirinya masih mendengar kerasnya suara petir-petir itu. Bayangan masa lalunya terus berputar layaknya vidio yang telah tengah disetel.

"Ayah belikan aku itu, aku lapar aku ingin makan itu."

"Memangnya anak ayah ini sangat lapar? Sampai-sampai meminta untuk membeli hamburger itu."

"Iya ayah aku sangat kelaparan. Jadi ayah, ayo kita berhenti dan makan disana."

"Diluar sedang hujan, jika kamu ikut kesana nanti kamu akan sakit. lebih baik Melli tunggu Sini saja ya, biar ayah yang keluar."

"Hm, yasudah jangan lama-lama ya ayah."

Brakk

"AYAH!!!"

"AYAH, BUKA MATAMU. AYAH JANGAN TIDUR, AKU TAKUT. AYAH!"

"AYAH, JANGAN. AYAH."

  Melli terus menangis sambil menarik rambutnya. Hingga tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan memperlihatkan seseorang masuk dengan tergesa-gesa.

BRAK

  "MELLI!"

  Vanya berlari kearah Melli, adiknya kini terlihat sangat berantakan, bahkan jauh dari kata baik. Vanya mulai melepaskan tangan Melli dari rambutnya sendiri, perlahan ia angkat tubuh adiknya menjadi duduk. Dapat dilihat dengan jelas jika adiknya enggan membuka matanya. Hati Vanya selalu berdenyut sakit saat melihat trauma adiknya kambuh, saat hujan seperti ini.

"Melli buka matamu, ini kakak. Jangan takut, kak Vanya ada didepanmu."

Melli masih enggan membuka matanya, gadis itu sepertinya masih larut dalam bayangan masa lalunya. Sehingga membuat Vanya kebingungan harus melakukan apa, sebenarnya ini bukan yang pertama atau kedua kali. Kejadian ini selalu terjadi saat hujan deras, tapi anehnya Vanya masih sulit menenangkan Melli jika sudah seperti ini.

Ombrophobia (COMPLATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang