Tiga puluh tiga

49 9 0
                                    

Jam masih dibilang pagi, orang mungkin masih terlelap di alam mimpinya namun itu tidak dengan Farel dan Maya. Keduanya harus bangun jam tiga malam karena jam tujuh nanti mereka harus sudah berangkat.

Maya memperhatikan gelagat putranya sejak seminggu yang lalu, lebih tepatnya setelah ia bilang akan kembali ke rumah lamanya. Farel berubah menjadi anak yang murung dan jiwa semangatnya mendadak hilang. Maya tau penyebabnya dan karena itu maya selalu membiarkan Farel melakukan apapun seminggu penuh ini.

Alasan Farel murung bukan hanya perihal kembali ke rumah lamanya tetapi juga karena seminggu ini Farel tak bisa mengabiskan waktunya bersama Melli. Maya memberitahu dirinya kembali ke rumah lamanya tepat dihari yang sama, hari dimana Farel melihat Melli mendorong Kerin.

Farel kesal karena tak bisa menjernihkan pikirannya saat itu. Perasaannya campur aduk setelah Maya memberitahu kabar itu dan berakibat Farel membawa masalah pribadinya ke sekolah.

Otaknya sudah dibebani perihal kembali ke rumah lamanya dan Farel malah melihat Melli mendorong Kerin. Sungguh, emosi Farel tengah labil saat itu.

Maya melirik jam, ini sudah waktunya mereka berangkat. Ia harus menghampiri Farel lebih dulu di kamarnya. Tangan yang tadinya akan membuka knop tiba-tiba berhenti. Maya tersentak begitu mendengar suara Farel dari dalam, entah kenapa perasaannya jadi menyeruak tak karuan. Antara tak tega dan juga kasihan. Baru kali ini ia mendengar Farel dengan suara putus asa.



"Melli, gue berharap keadaan di sekolah sudah normal. Lo harus percaya diri jangan kalah dengan rasa takut lo. Maaf karena gue sempat gak percaya sama lo. Tapi gue juga gak akan maksa lo untuk memaafkan gue, gue cukup sadar diri kalau tindakan gue kemarin salah. Maaf gue menjadi pengecut karena memilih meminta maaf lewat ponsel. Hari ini gue akan kembali dan gue gak akan bisa ketemu lo seperti hari-hari sebelumnya. Gue cuma pesan buat lo, lawan rasa takut yang ada di diri lo karena hanya lo yang bisa melakukannya dan sekali lagi gue minta maaf, gue harap lo bisa melawan rasa takut lo."


Apa disekolah Farel tengah ada masalah. Dari cara berbicaranya Maya sudah bisa membaca, kalau semua sedang tidak baik-baik saja. Maya jadi merasa bersalah memaksa Farel kembali bersamanya.

Maya menghembuskan nafasnya, menyiapkan wajah ceria yang dimilikinya sebelum membuka knop pintu itu, "Sayang, ayo kita berangkat."

Farel mengangguk. Membuat Maya tersenyum sendu. Ia memilih keluar lebih dulu, menunggunya di mobil. Tak lama Farel masuk, Maya menatap anaknya itu. Selama perjalanan Farel menatap luar jendela tanpa membuka suaranya. Maya merasa keputusannya adalah hal terbaik untuk Farel namun ia sendiri tak tega melihat Farel murung terus menerus. Itu sungguh bukan sikap Farel, Maya merasa ada sebagian jiwanya yang hilang saat tau sikap Farel tak seperti dulu. Senyum, tawa, dan rasa semangat itu hilang dari diri Farel berganti dengan murung, lemas dan tak bersemangat. Maya ingin membuat anaknya kembali seperti dulu...

"Bu kita sudah sampai."

"Ah, iya. Makasih pak. Farel kamu turun duluan ya nak."

Farel mengangguk menuruti keinginan Maya. Sebelum turun Maya mengucapkan sesuatu terlebih dulu pada sang supir. "Pak tolong dibawa koper saya, tapi milik Farel jangan ya pak."

"Loh, memangnya kenapa bu?"

"Farel akan tetap tinggal disini, saya merasa itu akan lebih baik untuk Farel. Beberapa hari ini Farel terlihat murung setelah saya bilang akan kembali ke rumah yang lama. Hm, pak saya minta tolong selama saya tidak berada di rumah itu tolong jaga Farel. Saya sudah berpesan pada bibi juga di rumah."

"Baik bu, saya akan menjaganya setelah ibu pergi."

"Terimakasih banyak pak, ya sudah kalau gitu bapak bisa bawa koper saya sekarang."

Ombrophobia (COMPLATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang