Tiga puluh lima

43 7 0
                                    

Melli kembali masuk sekolah. Permintaanya tentang homeschooling lantas dibatalkannya. Vanya dan Ridwan pun senang mendengar keputusan Melli. Semakin hari semakin banyak perkembangan Melli, entahlah, Vanya sendiri tak tau bagaimana mengungkapkan rasa senangnya. Meski kadang Melli suka kambuh namun tak masalah, selama adiknya menemukan perkembangan Vanya akan senang dan bahagia.

Setelah menghabiskan sarapannya, gadis itu berangkat, tidak bukan menghabiskannya, Melli bahkan tak menyentuh sarapannya, gadis itu hanya menengguk satu gelas susu dan pergi begitu saja. Membawa keceriaan dalam raut wajahnya. Sepanjang perjalanan kupingnya disumpal oleh musik, mood paginya sangat bagus kali ini.

Masalah kemarin, sebenarnya Vanya tau Melli membolos namun setelah mendengar nasihat Ridwan untuk tak marah pada Melli akhirnya Vanya berhasil memendam amarahnya. Melli tak tahu harus senang atau justru takut. Sikap kakaknya belakangan seperti terkesan acuh. Tidak lagi over seperti dulu, semuanya seakan berubah saat sang ayah datang.

Kakinya terus melangkah menyusuri koridor. Suara gema langkahnya mendominasi sekitarnya. Keadaan masih dibilang sepi, murid belum ramai sehingga sekolah dilanda keheningan.

Melli menaruh tasnya, menduduki tubuhnya dibangku. Meraih buku dalam tasnya, sebuah novel yang sedang dibacanya. Melli menikmati aktivitasnya itu, namun kenikmatan itu berakhir saat suara kencang berasal dari mejanya. Memang tak begitu kencang mengingat Melli masih mendengar musik. Namun tetap saja ketenangannya terusik akibat perbuatan Kerin.

Cewek itu terlihat kesal saat Melli tak meresponnya. Ketika handsetnya ditarik barulah Melli merespon. Melli berdiri menatap Kerin dengan tatapan datarnya. Entah kali ini apa lagi yang mau dilakukan Kerin.

"Lo, gara-gara lo gue harus kena skorsing beberapa hari ini. Lo puas bikin gue malu. Hah!!" teriak Kerin.

"Bukankah lo sendiri yang cari gara-gara."

Kerin berdecak sebal, sementara Melli terlihat santai. Kerin muak, muak melihat wajah Melli terlampai santai. Ia merasa Melli tidak lagi takut padanya. Tanpa aba-aba Kerin mendorong Melli keras, membuat si empu meringis karena jatuh akibat dorongan itu. Tangannya bahkan sudah tergores akibat ujung bangku yang mengenainya.

Melli meringis, matanya menelusuri sekitar. Sekarang dirinya faham mengapa Kerin langsung mendorongnya, itu karena belum ada siapapun dikelasnya. Belum sempat Melli berdiri Kerin sudah dulu menyerangnya kembali dengan menjambak rambutnya. Sungguh ini sangat sakit, seakan rambutnya akan lepas karena tarikannya. Rasanya Melli ingin sekali menangis, ralat bukan ingin tapi memang sudah. Melli mengeluarkan air matanya, tak tahan dengan jambakan Kerin yang tak main-main.

"Lepas, ini sakit!" pekik Melli.

"Gue benci sama lo. Gara-gara lo gue sengsara, gara-gara lo gue harus kena hinaan orang tua gue. Lo bikin hidup gue ancur. SEMUA GARA-GARA LO!!!!

"CUKUP KERIN!!!!"

Kerin tersentak, itu bukan suara Melli tapi orang lain. Kerin gugup, bahkan sekedar bernafas pun sulit. Seakan ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongannya. Perlahan jambakan itu terlepas. Membuat Melli kembali jatuh karena tak ada penopang untuk dirinya duduk. Tidak lagi, Kerin tak ingin kejadian beberapa hari lalu terulang. Susah payah ia menanamkan kepercayaan pada teman sekelasnya, ia tak ingin kelakuannya kali ini terbongkar lagi.

"Gue akan lapor perbuatan lo kali ini, mungkin vidio ini akan jadi bukti yang kuat untuk lo dikeluarkan."

Melli tak peduli siapa orang itu, namun ia bersyukur setidaknya jambakan Kerin lepas darinya. Kepalanya sekarang berdenyut sangat kencang. Membuat matanya melihat segala hal seolah ada dua. Melli sudah bilang jambakan Kerin tak main-main.

Ombrophobia (COMPLATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang