Pukul 08.00 pagi aku masih duduk di sisi kasur, lebih tepatnya disamping Keiji yang masih terbaring di tempat tidur. Badannya terasa panas, untuk itu aku disampingnya guna mengompres dahinya dengan air hangat.
Aku sudah membuatkannya bubur tadi dan Keiji juga sudah meminum obat yang kusiapkan. Sebenarnya hari ini Keiji kerja tapi karena keadaannya yang seperti ini, ku suruh dia istirahat dulu di rumah. Aku sudah menghubungi kantor Keiji dan meminta izin sakit.
Aku rasa karena akhir-akhir ini Keiji sangat sibuk, mondar-mandir kesana-kesini, dan tubuhnya jadi kelelahan. Padahal sudah ku ingatkan untuk beristirahat walaupun hanya sebentar saja. Dan ini akhirnya karena ia tidak mendengarkanku.
Aku menatap Keiji yang terbaring dengan khawatir. Apa aku kurang tegas padanya? Apa aku kurang perhatian padanya?
Sesekali alis Keiji berkerut seperti ada yang mengganggunya. Rasa khawatir tambah menyelimutiku. Ku usap lembut rambutnya yang sedikit basah akibat keringatnya. Setelah itu Keiji terlihat lebih tenang.
Sebenarnya hal yang aku khawatirkan dari Keiji saat sedang sakit adalah ia lebih terlihat seperti orang pingsan. Matanya terus terpejam, tidak berbicara sama sekali, jarang ada gerakan tubuh dan lebih minim ekspresi. Jadi aku tidak tahu Keiji sedang tidur atau hanya meram saja.
"Keiji, kau tidak pingsan kan?" Gumamku khawatir karena dari tadi Keiji tidak bersuara, mungkin ia tidur.
Ku dekatkan punggung tanganku pada dahi Keiji, badannya masih panas. Karena Keiji tidur, aku gunakan waktu tersebut untuk membersihkan rumah dan membuat makan siang untuknya nanti.
.
Malamnya saat ingin tidur, aku menempelkan kompresan sachetan yang sudah ku beli tadi siang. Suhu tubuhnya masih sama dengan yang tadi pagi. Aku harap besok ia segera baikan.
Seharian tanpa ada suara Keiji yang sering memanggilku, menggodaku, atau hanya berbincang-bincang hangat sudah membuatku sangat sedih. Sekarang yang dapat ku dengar hanya suara lemah dan seraknya yang mengkhawatirkan saat ia terbangun untuk makan dan minum obat.
Aku ikut tertidur disampingnya. Ku pegang tangan Keiji yang lebih besar dan lebih hangat karena sakit. Ku genggam, menyelipkan jariku di jari-jarinya. Pandanganku yang semula ke tangan kini berubah menjadi melihat wajah Keiji yang pucat.
Walau baru sehari tapi ini sudah sangat membuatku kesepian.
"Cepat sembuh Keiji."
Aku tertidur dengan tangan ku yang masih menggenggam tangannya.
.
.
.
Paginya.
Keiji bangun lebih dahulu dariku. Ia terduduk dan melihatku yang masih tertidur sambil menggenggam tangannya. Senyum tipis muncul diwajahnya.
"[name]..." ucap Keiji pelan.
aku langsung terbangun begitu mendengar suara yang ku rindukan seharian. Melihat Keiji yang sudah terduduk tegap membuatku tersenyum senang, sepertinya ia sudah membaik.
"Ada apa Keiji?" ucapku yang ikut terduduk dan masih menetralkan mata dengan cahaya sekitar.
"Aku kenapa?" Tanyanya seolah lupa ingatan.
"Hah?" Nyawaku yang belum begitu terkumpul sedikit tidak paham. Apa keiji tidak tahu kemarin dia sakit? Dia itu sakit atau mabuk sih? Atau pingsan beneran?!
"Dan apa ini?" ucap Keiji sambil mengambil kompresan di dahinya.
Apa Keiji benar-benar tidak tahu dirinya sakit seharian full di rumah?!
"Keiji, kemarin kau sakit." Jelasku.
"Eh? Benarkah? Ku kira mimpi..."
Bukan!!
"... soalnya aku melihat bidadari sedang merawatku."
//bluss
Walaupun menyebalkan tapi aku senang Keiji benar-benar sudah sembuh.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
(⁄ ⁄•⁄ω⁄•⁄ ⁄)
Lusi nggak kepikiran akhirnya bakal ada gombalan kayak gitu :"v tiba-tiba terlintas aja pas bikin, ya udah deh jadi gitu :'v
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga [Akaashi Keiji]
Historical Fictioncerita kehidupan [name] setelah menikah dengan seorang Akaashi Keiji. (Time Skip 7 tahun) [Sequel : Teman Tapi Mesra] Warning : bahasa tidak baku, typo, gaje, garing, receh, OOC, dll. KTT (Kehaluan Tingkat Tinggi)