Aku membuka mataku perlahan untuk menyesuaikannya dengan cahaya ruangan. Hal yang pertamaku lihat adalah wajah tampan suamiku, tak tahan rasanya jika tidak menyetuh wajahnya yang mulus. Rasanya seperti deja vu.
Ku sentuh pipinya dengan lembut agar tak membangunkan sang empu. Ah iya, aku pernah melakukan ini saat kita masih SMA. Tak terasa sekarang kami resmi menjadi sepasang suami istri.
Umur pernikahan kami baru dua minggu. Masih terbilang muda memang. Keiji benar-benar serius dengan hubungan ini. Dia sudah mulai bekerja di umurnya yang ke 21, sedangkan di umur yang sama aku masih melanjutkan kuliahku.
Status kita setelah makan malam saat itu berubah menjadi tunangan namun kita tidak memakai cincin tunangan, karena itu akan mengganggu aktifitas kita yang masih pelajar.
Aku tersenyum memandangi wajahnya yang sedang tertidur, "Otsukare." Ucap ku pelan. Aku tau perjuangan Keiji selama ini, dia bekerja sekaligus menabung untuk masa depannya dan yahh, intinya dia sudah bekerja sangat keras. Aku bangga karena ia bekerja sekeras ini untuk ku juga.
Mata keiji perlahan terbuka. Dibalaslah tatapan ku padanya. Wajahku merona tipis, ingin ku tarik tanganku yang berada di pipinya namun ditahan oleh sang empu.
"Seperti ini saja. Rasanya seperti balik kemasa SMA ya?" ucapnya dengan suara khas bangun tidur. Aku mengangguk. Dengan cepat Keiji mencium dahiku, "Ohayou." Aku masih tidak terbiasa dengan kontak fisik seperti ini, alhasil wajahku memerah, "O-ohayou."
"Jangan bertingkah imut seperti itu, apa kau memancingku?" ucap Keiji dengan smirk kecil. Dengan cepat aku segera membantahnya, "T-tidak! Aku t-tidak bermaksud."
Keiji terkekeh mendengar balasanku, "Iya aku tau, lagi pula kau selalu terlihat imut." Lagi-lagi Keiji memberi gombalan mautnya. Oh ayolah, ini masih pagi.
"Baiklah, aku akan ke dapur untuk membuat sarapan." Sebenarnya ini untuk melarikan diri dari Keiji, karena berada didekat Keiji tidak baik untuk jantung. Tapi aku sudah serumah dengannya(?)
Keiji melonggarkan pelukkannya. Aku segera bangun tanpa mempedulikan rambutku yang masih terurai berantakan.
Aku memilih bahan-bahan yang akan aku gunakan untuk membuat sarapan. Beberapa bahan ku potong menjadi lebih kecil. Suara langkah kaki terdengar dari belakangku. Tapi kuhiraukan saja, paling juga Keiji.
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba ada yang menyentuh rambutku. Ku tolehkan kepalaku untuk melihat sang pelaku. Ia nampak tak peduli dengan diriku yang sedang menatapnya, jadi ku biarkan saja.
Aku merasa rambutku di angkat olehnya, ia pun mencium belakang leherku.
Seketika badanku membeku dan merinding sekaligus. Kegiatan potong memotongku terhenti sebentar, masih mencerna apa yang Keiji lakukan.
"Kau tidak bisa membiarkan rambutmu tergerai saat sedang memasak, sayang." Ujarnya lalu mengikat rambutku dengan hati-hati. Aku tersenyum, "Terima kasih."
Setelah selesai menguncir rambutku, Keiji berdiri disampingku. Aku menatapnya, ia menatapku balik. Terjadi keheningan di antara kita sejenak. Keiji terus menatapku, jadi ku tanya, "Mau apa?"
Ia sedikit membungkukkan badannya dan wajahnya mendekat kewajahku.
"Cium aku. Aku sudah mengikat rambutmu."
Aku sweatdrop, 'Ternyata ada maunya ya.' Walaupun begitu aku tetap menciumnya di pipi. Namun sebelum bibir ini sampai di pipinya, dengan cepat Keiji menolehkan kepalanya menghadap wajahku sehingga bibir kita bertemu.
Lagi-lagi aku terkena serangan jantung dadakan. Sebelum berhasil untuk mengomelinya, Keiji sudah lebih dahulu berjalan dengan santai ke kamar mandi.
"KEIJI!"
.
.
.
.
.
.
(⁄ ⁄•⁄ω⁄•⁄ ⁄)
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga [Akaashi Keiji]
أدب تاريخيcerita kehidupan [name] setelah menikah dengan seorang Akaashi Keiji. (Time Skip 7 tahun) [Sequel : Teman Tapi Mesra] Warning : bahasa tidak baku, typo, gaje, garing, receh, OOC, dll. KTT (Kehaluan Tingkat Tinggi)