Tak Dianggap

502 41 9
                                    

"Kecuekanmu malah semakin membuatku tak mengerti arti saling mencintai."

Sepatu hitam milik Agitha berlari kencang mengejar seseorang yang sedang berjalan di depannya. Orang itu memang berjalan seperti biasanya, namun jarak dari gerbang ke koridor sekolah yang cukup jauh, membuat Agitha harus mengejarnya sebelum orang itu masuk ke dalam kelas.

Mata Agitha sudah terpusat pada satu orang, Arven. Meski banyak sekali orang lain yang berlalu lalang di depannya, Agitha tetap fokus pada punggung Arven yang sebentar lagi Agitha dapat menghmapirinya.

Setelah langkah kakinya dan langkah kaki Arven sama, Agitha menahan lengan Arven, lalu ia menatap tajam ke arah cowok itu.

"Sebentar, aku mau ngomong," ucap Agitha.

Arven mengangkat satu alisnya, seperti biasa Arven tak bertanya ataupun merespon dengan ucapannya.

"Kemarin sore aku kasih kamu ayam taliwang, kan? Kok kamu ga makan sih? Kata Tante Anita malah Arif yang makan," tanya Agitha.

"Arif suka, jadi ga aku makan."

Agitha mengencangkan tangannya agar Arven tak pergi dulu, terlihat dari wajah Arven yang sudah menganggap pertanyaan Agitha itu tak penting.

"Kenapa harus dia mulu sih alasannya? Kenapa kamu harus mengalah terus di semua situasi, Ar?" tanya Agitha, emosinya mulai memuncak.

"Dia lagi sakit."

"Aku tau dia lagi sakit, Ar. Tapi kamu bisa kan hargai masakan aku, hargai masakan pacar kamu sendiri."

"Sudah dihargai sama Arif, dia suka."

"Ar, aku serius. Ini tentang kamu yang ga pernah apresiasi apa yang aku lakukan, kamu ga suka aku kasih sesuatu?"

"Arif bilang enak, butuh berapa jawaban?"

"Satu, dari kamu, bukan dari yang lain."

"Aku ga nyoba."

"Kenapa ga kamu coba untuk makan, Ar? Sedikit aja kamu luangin waktumu untuk aku, ga bisa?"

"Semalam aku sibuk cari obat buat Arif, Git. Jangan egois," elak Arven.

Agitha menggelengkan kepalanya, tanda kecewa dengan jawaban Arven.

"Aku harus ngalah kaya gimana lagi, Ar? Dari dulu kamu selalu beralasan Arif, Arif, dan Arif aku selalu ngalah. Tapi kok sekarang aku kaya ga dianggap ada sama kamu," balas Agitha.

"Makanannya juga sudah habis, ga ada yang perlu dipermasalahin lagi," ucap Arven.

Agitha tertawa sinis, "Makanannya emang udah habis, tapi bukan itu yang permasalahin. Aku cuman pengen kamu hargai usahaku, Ar."

"Git, sudahlah. Aku mau masuk ke kelas."

"Ga ada kata maaf dari kamu? Atau semacamnya?"

"Maaf untuk apa?"

"Untuk semua hal yang udah bikin aku sakit hati."

"Maaf."

"Hanya itu?"

"Lalu harus apa?"

"Ga ada."

"Ya sudah."

Setelah itu, Arven melepaskan genggaman tangan Agitha dan berlalu begitu saja. Kepergian Arven membuat Agiha meneteskan air matanya secara tak sadar, Agitha sudah terlalu sakit kali ini, Arven sudah membuat hatinya tergores.

Apa yang Agitha inginkan Arven selalu menolak dan malah tak mau membahasnya karena Arven menganggap Agitha tak penting. Hal itu lah yang selalu Agitha rasakan hampir 3 tahun bersama Arven, mengalah dan mengiyakan semua ucapan Arven. Namun, sepertinya hari ini Agitha sudah tak bisa mengalah dengan Arven, karena harga dirinya seakan-akan jatuh dan rasanya ingin menjauh dari Arven.

AGITHA [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang