Diary 1: Kecelakaan di Hari Itu
.
Tatapan mata menatap kosong pada jalanan sepi gelap yang berada di depan, mataku bergulir pada seorang perempuan dengan rambut yang dikucir tinggi, menampakkan lehernya yang jenjang dan membiaskan cahaya lampu yang kekuningan.
Perempuan itu cukup berani untuk berjalan di malam hari seorang diri seperti itu. Apalagi jalanan di sini terkenal angker dan berbahaya bagi yang melewatinya karena pernah ada kasus begal yang menewaskan dua orang. Tidak ada yang mau melangkah ke sini pada malam hari, berbeda dengan perempuan itu.
Gadis itu memakai ransel jingga dengan motif daun mapel di pundaknya, kaos abu-abu berlengan pendek yang memperlihatkan lengannya, dan celana bermotif bunga berwarna ungu. Dari mulutnya, terdengar senandung lembut, siapa saja yang mendengarnya akan mengira jika dia sedang berbahagia.
Aku bersiul dan memanggil, "Cewek!"
Gadis itu berjalan melewatiku. Aku dapat mencium aroma permen karet merah muda yang menguar darinya. Senyumku mengembang saat gadis itu justru mengabaikanku tanpa pikir panjang, seolah-olah aku tidak ada bedanya dengan tiang listrik di sebelahku.
Apa dia tidak mendengarkanku karena penyuara telinga yang memutar musik kencang atau karena dia memang berpura-pura tidak mendengarkan?
Tanpa berpikir dua kali, aku membalikkan badan dan berjalan mengikuti langkah kecil gadis berkucir.
Jika diperhatikan lebih jauh, aku bisa melihat kedua telinga gadis yang dipasang penyuara telinga berwarna hijau muda dan anting-anting emas yang cantik, bergoyang-goyang mengikuti gerakannya.
Jalanan yang sepi dan minim pencahayaan itu kira-kira sepanjang seratus meter. Hanya ada dua orang yang melewatinya saat ini, yaitu gadis berkucir dan diriku seorang. Tidak ada siapa pun di sini selain kami dan aku sudah memeriksanya beberapa kali. Toko kelontong yang baru saja kulewati itu sudah lama tidak dibuka dan tidak mungkin akan tiba-tiba terbuka di jam seperti ini.
Membaca kesempatan ini, aku mempercepat langkah, mengambil langkah yang lebih panjang dan berusaha memutuskan jarak di antara kami. Dengan sekali gerakan, aku mengangkat lenganku dan merangkul pundak kecil perempuan itu. Aku bisa merasakan gadis itu tersentak saat aku melakukan hal itu, langkahnya yang ringan juga berhenti. Ditambah lagi, aroma parfumnya terasa lebih tajam dari posisi sedekat ini.
Aku tidak segera membuka suara, lebih memilih untuk melihat ekspresi gadis di sebbelahku. Meski gelap dan hanya ada sedikit cahaya dari lampu jalan, aku dapat melihat wajah pucat dengan pupil mata yang mengecil dan bibirnya yang memiliki rona kemerahan bergetar.
"Hey, Cantik! Mau ke mana malam-malam begini? Nggak takut apa jalan sendirian?" Aku berbisik ramah, seolah-olah sudah mengenal gadis ini sebelumnya.
Tidak puas dengan pundak, aku berpindah dan mencengkeram lengan yang terasa dingin dan lembut dari gadis yang ada dalam rangkulanku, lalu melangkah bersama. Aku tahu jika kaki gadis itu bahkan tidak bisa digerakkan, tetapi berkat kekuatanku, kami berdua bisa berjalan beriringan.
"Le ... lepaskan," lirih gadis itu. Senandung yang tadi diperdengarkan berubah menjadi suara yang bergetar lucu, seperti kelinci kecil imut.
Aku mendekatkan telinga ke gadis yang berbisik. "Kenapa? Oh, kamu takut? Iya, aku di sini untuk menemanimu, kok! Bagaimana jika ikut dengan ke suatu tempat?"
Aku tidak tahan untuk tidak membelai kulit lengan gadis itu. Apa yang ia pakai hingga membuat kulit itu begitu lembut dan sejuk?
Aku melepaskan penyuara telinga hijau itu. "Mau tidak ikut denganku?" bisikku, masih dengan posisi bibir yang dekat dengan telinganya. "Nanti aku kasih bayaran, deh. Bagaimana? Kau mau berapa? Biru atau merah?" Semuanya juga boleh. Aku membawa cukup banyak uang dalam dompet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiksi (SEX EDUCATION?)
Teen Fiction[18+? 21+? Iya, tapi anak 15 tahun juga boleh baca 😌 Note: kalau berani] Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tida...