Diary 13| Lihat dan Laporkan

196 48 5
                                    

.

“Aku!” Gadis dengan rambut berkucir satu itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berbeda denganku dan adiknya yang masih sibuk mencari jawaban dengan bantuan internet. “Biasanya ada fitur ‘laporkan’ di setiap media sosial. Kita bisa memilih opsi ‘konten tidak pantas’ atau ‘konten eksplisit’, bisa juga dengan opsi lain yang berhubungan dengan hal itu.”

“Ah, aku menemukan cara lain untuk melaporkan tautan-tautan seperti itu,” tambahku. Meski mata sibuk menatap layar ponsel, tanganku mengangkat tinggi-tinggi “Di sini tertulis jika kita bisa melaporkannya melalui email kominfo, namanya ‘aduankonten@mail.kominfo.go.id’ atau melalui web ‘aduankonten.id’ dan twitter @aduankonten.”

“Itu keren! Coba kirim artikelnya, dong!” Kak Fayruz mendekatiku dan melihat layar ponselnya, menunggu untuk mengirimkan apa yang sedang kubaca.

“Oh, di sini bahkan tertulis jika rata-rata isi pengaduannya tujuh puluh persen berisi konten pornografi dan diakses oleh masyarakat berumur mulai dari 12 tahun sampai pertengahan tiga puluh,” baca K Fayruz. Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel dengan matanya yang melebar tak percaya. “Wow, dua belas tahun!”

“Memang semakin canggih teknologi, semakin mudah pula mencari tahu. Benar, kan?” sahut Kak Afkar. “Kalian sendiri saat candu-candunya dulu juga mencarinya di internet, kan?”

Aku dan Kak Fayruz mengangguk mantap. Kak Fayruz melanjutkan, “Baik dari gambar, komik, video, atau tulisan, semuanya tersedia dengan lengkap. Bahkan jika tidak bisa diakses di internet, banyak juga grup di media sosial yang membagikan video dan tautan yang mengarah ke situs-situs seperti itu dengan bebas.”

“Pokoknya kalau melihat hal-hal yang tidak senonoh, kita harus segera melaporkannya sebelum banyak orang yang melihatnya. Karena sikap orang lain bisa berubah dari apa yang sering ia lihat,” saran Kak Afkar. “Sebagai orang-orang yang menyebarkan pesan negatif dari PMO, kita harus berani melaporkannya. ”

“Siap, Kak!”

Di saat semuanya terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing, kumandang ayat suci dari musala di dekat rumah terdengar bersahutan dengan masjid lain, pertanda waktu adzan akan tiba tidak lama lagi. Matahari tanpa mereka sadari sudah tergelincir ke barat dan menyisakan langit berwarna jingga.

“Wah, tidak kusangka sampai mau maghrib,” kataku sembari lirik jendela persegi panjang berteralis itu, menatap jauh pada langit yang mulai menggelap di luar sana.

“Benar! Pembahasannya menarik, sih! Aku tidak akan pernah mendapatkan pelajaran seperti ini di sekolah.” Ucapan Kak Fayruz ada benarnya juga.

“Iya, selama aku bersekolah sejak SD sampai SMA, paling-paling hanya mendapatkan cara merawat organ vital, penyakit menular seksual, dan bahaya pergaulan bebas.” Kak Afkar berkata seperti itu sembari memasukkan barang-barangnya ke dalam tas berwarna hijau yang selalu dibawa setiap kali bepergian.

“Kak Afkar sudah mau pulang? Tidak sholat di sini dulu?” tawarku. Aku bangkit dan mengambil kardus piza yang tersisa tiga potong. “Mau bawa pizanya juga?”

“Ah, boleh! Terima kasih. Aku lupa jika harus pulang secepatnya. Oh ya, semangat untuk flatline-nya.” Ia menepuk bahuku, lalu beralih pada kaak Fayruz, “Kamu jadi menginap di sini?”

Kak Fayruz mengangkat jempolnya. “Iya, akan kujaga Elzar supaya tidak relapse lagi!”

“Bisa-bisanya kau berkata seperti itu, padahal dua minggu kemarin kamu relapse, kan?” cibir Kak Fayra.

Kak Fayruz melongo menatap Kak Fayra. Wajahnya tiba-tiba saja memerah sepenuhnya. ”Diam! Memangnya kamu tahu darimana, sih?!”

Kak Fayra menyipit. “Kau lupa? Kita kan punya akun penghitung hari yang saling terhubung, jadi aku tau kalau kau menekan tombol relapse di aplikasinya!”

Adiksi (SEX EDUCATION?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang