Diary 2: Ditampar di Saat yang Tepat

6.9K 133 32
                                    

Adiksi (2021) © Fukuyama12

.

Diary 2: Ditampar di Saat yang Tepat
(Nofap Hari ke-1)

.
.
.

Cahaya merambat masuk dari cela-cela gorden, membuatku mengernyitkan alis karena merasa terganggu. Aku membuka mata dan pusing seketika menyerang kepalaku. Meski aku memegang kepalaku dan meremasnya, rasa sakit itu tetap tidak hilang. Aku selalu merasakan hal ini, mungkin penyebabnya karena terlalu lama terjaga di malam hari. Aku bangkit perlahan sembari berusaha menenangkan rasa sakit di kepala.

Rasanya aku bermimpi aneh. Mungkin karena terlalu banyak menonton film biru semalam, aku jadi bermimpi yang tidak-tidak. Bagaimana bisa aku berusaha memerkosa seorang gadis asing yang lewat di jalanan gelap hanya karena hawa nafsu yang tidak bisa ditahan. Mimpi yang sangat buruk dan aku berharap itu memang hanya sebuah mimpi.

Aku menggerakkan kakiku. Namun, napasku tertahan saat mendapati sebuah tas jingga yang tergeletak di atas karpet kamar, terinjak tidak berdaya oleh kaki yang baru turun dari kasur. Memoriku berputar kembali pada kejadian yang ada dalam benakku. Aku mengernyit dan memejamkan mataku erat-erat. Pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi, seolah-olah ada jarum-jarum kecil transparan yang menancap di sana.

Seberapa keras aku berusaha menolak ingatakanku, hal itu selalu berujung dengan kegagalan. Tidak mungkin tas seorang gadis yang kulihat dalam mimpiku tiba-tiba saja ada di depan mataku sendiri.

Lagi pula, tidak ada yang memiliki tas berwarna jingga dengan gantungan kunci pompom yang khas perempuan sekali itu di sini, lagipula aku adalah satu-satunya anak laki-laki dan tidak memiliki satu saudara pun di rumah ini.

Mataku bergetar melihat tas itu, aku tidak percaya dengan apa yang ada di depan mataku. Ini semua tidak masuk akal.

"Jangan bilang kalau itu bukan mimpi?" Aku meracau dengan menarik satu sudut bibirku.

Namun, senyum sungging itu menghilang dengan cepat, berubah menjadi rasa takut dan panik yang membuat badanku bergetar. Tanpa sadar aku menggigit ujung kuku jempolku.

Perasaan ketakutan menyelimutiku dari ujung kepala sampai ke ujung jari kakiku. Tak sampai di situ, tiba-tiba saja aku bisa merasakan perutku terlilit oleh sesuatu yang tidak bisa kulihat.

Apa mungkin ini juga dirasakan oleh gadis yang semalam akan kuculik?

Aku menertawakan diri sendiri yang mencoba melakukan tindakan tidak senonoh pada orang lain. Aku meremas rambutku frustasi saat sakit di kepalaku kian menjadi-jadi.

"Itu--itu bukan aku, kan? Apa--apa yang sedang aku lakukan kemarin?"

Aku berusaha menarik kembali akal sehatku yang sempat menghilang. Aku menyadari jika apa yang kulakukan tadi malam adalah sebuah kesalahan besar, sebuah dosa besar yang jika dihukum mati sekali pun sepertinya juga tidak masalah.

Aku menatap jari-jariku yang bergetar. "Aku--aku orang paling kotor di sini. Ya, aku kotor."

Mungkin aku seperti orang gila sekarang, setidaknya itulah yang bisa mendeskripsikan sikapku yang menangis tiba-tiba dan berteriak menyalahkan dirinya sendiri. Aku mencengkeram erat rambutku dan berteriak sangat kencang, menendang-nendang selimut yang tak bersalah hingga jatuh ke atas lantai.

"Itu bukan aku, kan?!" Aku menatap bayangan diriku sendiri yang terpantul di cermin. Bertanya pada bayangan manusia buruk rupa itu meski tahu jika ia tidak akan menjawabnya.

Adiksi (SEX EDUCATION?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang