Diary 14| Mereka yang Juga Berjuang

187 49 0
                                    

“Jadi, berapa banyak total responden yang didapat?”

Kak Fayra menatap Kak Fayruz, lalu beralih pada layar laptopnya, memperhatikan deretan angka yang ada di sana. Setelah seminggu berkutat dengan pertanyaan dan menyebarkan tautan ke teman-teman sekolah, grup nofap, dan media sosial, kami sudah mendapatkan beberapa jawaban.

“Hampir lima ribu. Menurutku ini sudah cukup banyak, apalagi ada berapa pertanyaan kita yang berupa jawaban panjang. Siapa yang mau membaca sebanyak ini? Kalau jawaban berupa pilihan ganda kita masih bisa melihat berapa persentasenya.” komentar Kak Fayra.

“Iya juga, ya. Apa kita tutup saja kuesionernya?” usul Kak Fayruz sembari meregangkan tulangnya di atas karpet rumahku. Ia merebahkan badannya dan terlihat bermalas-malasan setelah menghabiskan sepiring cenil berwarna-warni dengan lumuran cairan gula merah yang manis dan parutan kelapa yang gurih, tentu saja Bu Imas yang membuatkannya.

“Oke, sudah kututup. Kalian bisa mengecek jawabannya di link yang kubagikan di grup,” ujar Kak Fayra tanpa melepaskan pandangannya dari layar laptop. “Tak kusangka jawabannya akan sebanyak ini.”

Aku menyalakan ponsel saat mendengar notifikasi masuk dari Kak Fayra dan menekan tautan yang baru saja muncul. Kuesioner yang kami bagikan tidak meminta identitas mereka demi kenyamanan, lagipula kami juga tidak terlalu membutuhkannya. 

Pertanyaan pertama yang muncul adalah tentang umur mereka. 50% dari orang yang mengisi kuesioner berumur antara 16-19 tahun, 17% dari mereka berumur kisaran 13-15 tahun, 26% berumur 20-25 tahun, dan sisanya di atas umur 25 tahun. Tentu saja rata-rata dari mereka adalah anak SMA dan SMP.

"Wow, hampir 60% dari mereka menjawab melihat pornografi dengan sengaja," komentar Kak Fayruz.

Aku juga terkejut saat melihatnya. Namun, yang lebih mengejutkan adalah jawaban mengenai di umur berapa mereka pertama kali melihat pornografi. Jawaban terbanyak adalah sekitar umur 7-12 tahun, atau usia sekitar anak SD, lalu disusul usia 13-16 tahun atau setara dengan anak SMP. Ternyata memang banyak anak yang melihat di usia dini seperti itu. Bahkan ada yang menjawab saat mereka di bawah umur 7 tahun sudah melihat pornografi.

"Rata-rata mereka menjadi pecandu sejak SMP, meski ada juga yang mulai candu sejak SD, sih. Yah, aku candu mulai SD juga, sih. Apalagi setelah ayah dan ibuku membelikan ponsel. Ditambah, teman-teman sering membagikan video seperti itu diam-diam," ceritaku.

Kak Fayruz mengangguk mantap. "Iya, awalnya mungkin aneh, tapi lama-lama karena ingin tahu jadi terus melihat, lalu berubah candu, dan menonton diam-diam, hingga berani melakukan onani, ya kan?"

Aku dan Kak Afkar mengangguk setuju. Kak Afkar mengangkat bicara, "Ada juga cerita tentang anak yang dipaksa menonton oleh paman atau teman ayahnya. Bisa-bisanya orang dewasa melakukan hal itu pada anak di bawah umur. Ada juga berita tentang sepasang suami istri yang menjual tiket pertunjukan hubungan badan mereka pada anak-anak. Kalian tahu berapa harga tiketnya?"

“Em, 50.000?” jawabku asal.

“Mana ada anak kecil yang punya uang segitu!” sanggah Kak Fayruz.

“Bisa saja mereka mengambil uang orang tua mereka.” Aku senang mendengar belaan Kak Fayra. “Tapi sepertinya memang terlalu banyak. Mungkin harganya sekitar 10.000 ke atas.”

Kak Afkar mengangguk. “Hampir tepat. Sebenarnya sekitar 5.000-10.000.”

Ketiga orang yang mendengar hal itu bergidik. Ada saja cerita aneh yang mereka dengar, meski mereka juga tahu jika cerita semacam itu bukannya tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Sama seperti yang pernah Kak Afkar katakan sebelumnya, dunia luar itu kejam.

Adiksi (SEX EDUCATION?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang