Adiksi © Fukuyama12
.
Diary 22 Pengakuan
Nofap hari ke-69 & 70.
.Acara makan-makan keluargaku kembali diselimuti dengan keheningan setelah aku membeberkan semuanya. Saat itu aku ingat betapa beratnya helaan napas Ayah dan kernyitan dalam di alis Ibu. Setelah beberapa detik berlalu, percakapan dimulai kembali dengan pembicaraan tentang rencana Ayah selanjutnya—mencarikanku sekolah dan rencana untuk berunding dengan pihak korban secepatnya.
Esoknya, rumah terasa sepi setelah Ayah dan Ibu kembali pergi meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Aku juga tidak mau bertanya lebih jauh karena tidak melihat celah yang bisa kugunakan, seolah-olah mengatakan jika aku memang tidak perlu ikut campur.
“Elzar! Elzar!”
Teriakan dan kegaduhan datang dari bawah. Jarum jam menunjukkan angka tiga saat aku menoleh ke arahnya. Sudah waktunya pulang memang, tetapi aneh saat melihat Kak Fayruz datang dengan seragam lengkapnya. Dia pasti hanya melemparkan tasnya ke sofa lalu berlari menuju kamarku.
“Kak Fayruz tidak mau ganti baju dulu?” tanyaku keheranan.
“Ada berita penting!” Matanya yang bersinar melebar. Tanpa perlu menungguku membalas, Kak Fayruz membuka mulutnya, “Gila! Beritanya cepat sekali menyebar ke seluruh sekolah. Ada salah satu adik kelasku hampir mengalami pemerkosaan.” Aku menoleh dengan cepat saat mendengarnya. “Kasihan sekali, kudengar pelakunya pelajar dari sekolah lain.”
Tenggorokanku tiba-tiba tersekat. Aku menjilati bibirku dengan gugup. “A–apa kakak tahu siapa namanya?”
Kak Fayruz menggeleng. “Aku tidak tahu pelakunya, tetapi kudengar nama korbannya Sofia, anak kelas 10 IPS 2.”
Oke, bagus. Aku tidak tahu harus memasang ekspresi seperti apa. Itu nama yang tidak asing dan mungkin hanya kebetulan saja sama dengan nama pemilik tas yang digantung di belakang pintu itu serta korban dari kejahatan. Ini benar-benar hanya kebetulan saja, kan?
“Oh, begitu. Terus?” Pertama, mari hadapi dengan (pura-pura) santai.
“Entahlah. Kudengar dia dipanggil di tengah-tengah jam pelajaran. Lalu orang tuanya juga sampai datang. Mereka bilang juga kalau Sofia pulang karena permintaan orang tuanya,” cerita Kak Fayruz, dia sudah seperti ibu-ibu kompleks sebelah yang jika bertemu akan membahas berita panas yang sedang terjadi. “Kayaknya mereka bakal ke kepolisian, deh.”
Aku memucat, itu berita buruk bagiku. “Ke–kenapa harus ke polisi? Kak Fayruz tahu dari mana?”
“Kamu gimana, sih? Kan ini tindak kejahatan. Aneh kalau tidak pergi ke polisi, kan?” Benar apa yang dikatakan Kak Fayruz, tetapi itu bukan jawaban yang kuinginkan. Kepala Kak Fayruz memiring saat menatapku. “Kamu kenapa?”
Aku tersentak saat melihat Kak Fayruz menyadari gelagat anehku. Seperti biasa, aku menyunggingkan senyum canggung. “Banyak yang terjadi akhir-akhir ini, aku agak capek.”
“Oh, aku mengganggumu, ya?”
Akhirnya dia menyadari hal itu, tetapi bukannya aku tidak suka dengan kehadiran Kak Fayruz, hanya saja ia datang di saat yang tidak tepat dan memberikanku kabar yang sangat baik.
“Tidak apa-apa, kok.”
Kak Fayruz berjalan menjauhiku. “Kalau begitu aku pergi dulu. Jangan capek-capek, nanti sakit! Dah!”
Aku mengangguk sebagai balasan dari lambaian tangan Kak Fayruz. Pemuda itu menghilang dan kebisingan dari langkah kaki kembali terdengar—aku penasaran kenapa mereka suka sekali berlari di rumahku. Badai itu dan pergi dengan cepat. Meski merasa bersalah, tetapi julukan itu sangat tepat untuk Kak Fayruz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adiksi (SEX EDUCATION?)
Teen Fiction[18+? 21+? Iya, tapi anak 15 tahun juga boleh baca 😌 Note: kalau berani] Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tida...