Diary 21 Ayo Tumpahkan Semua

491 46 0
                                    

Adiksi © Fukuyama12

.

Diary 21 Ayo Tumpahkan Semua
Nofap hari ke-68

.
.

Seperti yang kupikirkan sebelumnya. Saat aku berjalan memasuki kelas, suasana mendadak hening seluruh pasang mata menatapku aku menghela napas panjang, lalu berjalan menuju Bu Yuli yang sedang menerangkan di depan kelas. Setelah memberikan surat yang sudah diberikan oleh Bu Laili sebelumnya, aku mengambil tas dan berpamitan pulang. Selama di kelas, aku bisa merasakan ujung-ujung jariku gemetaran, dan mulai menggerayangi perutku. Rasanya dunia ini sedang berputar tepat di depan mata.

Perjalanan pulang terasa sangat panjang. Selama itu, aku duduk di belakang dengan takut-takut dan khawatir tentang kemarahan Ayah dan Ibu saat kami sampai nanti. Mereka mungkin akan mengusirku dari rumah, atau membuangku ke rumah Kakek dan Nenek.  Namun, sepertinya aku salah. Pasalnya, Ayah bukannya berbelok menuju jalan arah pulang, Ayah justru pergi ke sebuah tempat yang tak asing. Di hari Senin yang masih pagi ini, rumah makan itu terasa sepi.

Plang bertuliskan 'Rumah Makan Cak Joko’ yang terbuat dari kayu yang ditulis dengan cat warna hitam. Itu terlihat sudah sangat tua, bahkan warnanya terlihat memudar. Sudah lama aku tidak kemari. Entahlah mungkin terakhir kali aku kemari adalah saat aku baru masuk SMP dulu, Ayah terlalu sibuk bekerja, begitu juga dengan Ibu.

Ini adalah salah satu rumah makan favorit keluargaku. Meski dibilang ini rumah makan, sebenarnya ukurannya tidak terlalu luas dan cenderung kecil, tetapi rasa hangat dan nyaman yang timbul saat kami duduk bersama membuat kenangan lama bangkit kembali.

"Ayo makan-makan dulu," kata Ayah sembari memanggil salah satu pelayan yang sedang memperhatikan kami.

Sebenarnya, karena mual, aku jadi tidak nafsu makan. Namun, aku tidak enak menolak Ayah yang jarang membawa keluarga untuk makan bersama. Aku membaca menu yang diberikan sekilas. Benar-benar hanya sekilas saja tidak membaca penuh. Daftar menu itu tidak berubah sama sekali, mungkin hanya menghapus beberapa menu saja dengan spidol permanen hitam. Aku hanya memastikan menu itu ada di sana saja.

"Satu mi ayam ekstra ceker dan satu jeruk hangat," ucapku tanpa membaca ulang.

"Elzar, kamu masih suka makanan itu ya." Ibuku tertawa kecil, matanya yang sembab itu ikut tersenyum.

Aku tersenyum kecil. "Ibu masih ingat ternyata." 

Sebenarnya itu bukan menu andalan mereka, hanya menu sampingan bagi pelanggan yang tidak suka dengan makanan laut yang menjadi ciri khas rumah makan ini.

"Kalau begitu ayah pasti pesan kepiting ekstra pedas, kan?" Ayah tertawa dan mengangguk. “Ibu pesan gurame asam manis. Minumannya tambah es teh dua, ya? Oh, sama boleh tambah es batu di mangkuk? Es batunya saja.”

“Sudah lama tidak makan seperti ini, kan?” ucap Ayah ketika pelayan itu pergi membawa pesanan kami. 

“Iya,” jawabku pelan, menatap Ayah sekilas untuk menyenangi hatinya, lalu berbalik mengamati interior ruangan dan mencari perbedaannya. Mungkin yang paling mencolok adalah debu-debu di sudut ruangan yang semakin bertambah sejak terakhir aku ke sini dua tahun yang lalu. Aku jadi penasaran apa mereka tidak mengadakan bersih-bersih masal atau sebagainya.

“Masakannya Bu Imas enak, sih, jadi jarang pergi makan keluar.” 

Aku setuju dengan ucapan Ibu. Bu Imas selalu memasak banyak makanan dan camilan. Mungkin suasana hati ibu sedikit membaik, air mukanya terlihat lebih tenang dan ceria, seolah-olah mereka tidak pernah berbicara dengan Bu Dian dan Bu Laili sebelumnya. 

Adiksi (SEX EDUCATION?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang