Diary 27 Kamu Tidak Sendiri

358 52 0
                                    

.
.

Adiksi © Fukuyama12
Diary 27 Kamu Juga Tidak Sendiri

.
.
.

“Elzar sudah pernah pergi ke LPKA sebelumnya?” Pak Gilang bertanya sambil melirik melalui kaca mobil.

Aku mengalihkan pandangan dari jendela dan menjawab, “Belum, Pak. Tapi saya pernah lihat beberapa foto LPKA.” Yah, berkat Kak Afkar yang berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak demi diriku ini, aku—dan Kak Fayruz juga Kak Fayra—jadi mengetahui gambaran kasar dari tempat itu.

“Di sana banyak teman, lho! Mirip-mirip seperti sekolah berasrama,” cerita Pak. “Mungkin kamu juga bisa mendapatkan apa yang tidak sekolah ajarkan.”

Itu terdengar menarik, dan aku memang mencari hal itu. “Iya, Pak! Semoga saya betah di sana”

Suara tawa keras yang memenuhi mobil membuatku terlompat. Tiba-tiba saja Pak tertawa seperti itu, siapa yang tidak terkejut?

“Elzar, Elzar, baru kali ini ada yang tidak sabar pergi ke sana.”

Aku menarik senyum canggung. Itu terdengar seperti pujian, tetapi sepertinya juga bukan. Jadi, aku hanya tertawa kecil meski ketara sekali jika itu terdengar sangat dipaksakan. Sayangnya aku tidak tahu harus menjawab apa.

Kami sampai dalam waktu lima belas menit saja. Aku keluar dan melihat sekeliling pada tempat yang lapang itu. Benar-benar seperti sekolah, hanya saja ada pembatas menjulang sangat tinggi, dibangun seperti dinding yang kokoh dengan kawat melingkar di bagian atasnya. Aku bisa melihat dua menara yang masing-masing ada di pojok sana.

Aku mengerjap beberapa kali saat merasakan tatapan mata yang tertuju padaku. Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat beberapa anak seusiaku dengan seragam olahraga—iya, seragam yang seperti seragam sekolah—sedang sibuk membersihkan taman. Aku meneguk saliva, lalu menundukkan pandangan.
“Elzar, ayo!”

Aku tersentak dan mendongak menatap Pak Gilang yang melangkah di depanku. “Iya, maaf, Pak!”

Aku berjalan mengikuti Pak Gilang dan Pak Har, tetapi mataku tidak bisa lepas dari sekitarku. Aku tidak peduli jika nanti aku tersandung, rasanya itu lebih baik daripada melewatkan kegiatan yang sedang terjadi di sini. Aku bisa melihat orang-orang yang menggunakan seragam sekolah, mulai dari SD, SMP, bahkan SMA.

“Pak, di sini ada sekolah?” Aku tidak bisa menahan diriku untuk bertanya.

“Tentu saja! Nanti kamu juga sekolah di sana. Di sini juga kamu boleh memilih kegiatan, ada bela diri, memasak, ternak lele, berkebun, menjahit, melukis, atau mau buat kaligrafi besi untuk dijual juga boleh. terserah kamu, deh!”

Aku menganga lebar saat mendengarnya. Langkah kami terhenti, lalu Pak menunjuk sebuah ruangan. “Rambutmu, kan pajang, nanti potong rambut di sini juga, ya?”

Aku menoleh pada sebuah ruangan yang ditunjuk oleh Pak Gilang. Di sana ada beberapa anak yang mencukur rambut anak lainnya. Aku memegang rambutku yang memang mulai memanjang.

“Oh, Andi itu pintar kalau potong rambut, lho. Nanti minta potong dia!”

“Eh, Pak, aku juga ahli, lho!”

Seseorang memprotes, Pak Gilang tertawa mendengarnya, lalu berjalan melewati ruangan itu. Aku berlari kecil untuk mengikutinya, meski mataku tidak lepas dari ruangan itu karena penasaran.

Setelah berjalan beberapa menit dengan aku yang tidak bisa fokus dengan langkahku—aku hampir saja kehilangan jejak Pak Gilang dan Pak Har karenanya. Hingga kami akhirnya sampai di sebuah ruangan besar. Aku bisa melihat lemari dan kasur yang berjajar. Jelas sekali jika ini adalah tempat untuk beristirahat.
Apa ini akan jadi kamarku?

Adiksi (SEX EDUCATION?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang