Diary 16| Jangan Menyalahkan Diri Sendiri

171 51 4
                                    

.
.

Diary 16 Jangan Menyalahkan Diri Sendiri
Nofap hari ke-60

.
.
.

Aku dan Kak Afkar menatap Kak Fayruz tanpa berkedip, entah sudah berapa lama ini terjadi. Dalam wajah pemuda bermata sipit itu, terlihat sekali jika ia sedang dirundung masalah, ditambah dengan ketidakhadiran dari Kak Fayra yang biasanya selalu datang bersama dengannya.

    “Apa terjadi sesuatu?” tanya Kak Afkar. Kak Fayruz hanya diam dan menghela napas panjang sembari mengalihkan tatapannya ke arah lain.

“Kalian sedang bertengkar?” tebakku yang sudah mulai penasaran karena Kak Fayruz yang tak kunjung bercerita.

Setelah menghela napas kesekian kalinya, Kak Fayruz pun membuka mulut. “Kami tidak bertengkar. Kemarin, saat aku dan Kak Fayra pulang dari sekolah dengan bus kota, terjadi sesuatu.” Aku dan Kak Afkar menatap Kak Fayruz, menunggu kelanjutan dari cerita yang akan diperdengarkan. “Seseorang tiba-tiba menyentuh badannya. Dengan kata lain, dia dilecehkan. Dan sekarang dia sedang ingin sendiri.”

“Apa?!”

Aku dan Kak Afkar sama-sama terkejut saat mendengarnya. Kami menatap Kak Fayruz dengan mata yang terbuka lebar, selebar mulut kami yang menganga. Hal itu benar-benar di luar dugaan. AKu tidak pernah menyangka jika Kak Fayra bisa dilecehkan seperti itu.

Rahangku mengeras saat mendengar Kak Fayruz bercerita. Sesuatu muncul dalam hatiku, antara percaya dan tidak. Perasaan takut, sedih, kasihan, dan marah bercampur menjadi satu. Padahal dia bukan keluargaku, dia hanya temanku, tetapi aku jadi seperti ini.

“Bagaimana bisa terjadi?” Raut wajah Kak Afkar menjadi sangat khawatir, ia tidak pernah memperlihatkan wajah seperti itu sebelumnya.

Kak Fayruz menggigit bibir bawahnya. Matanya melukiskan kemarahan dan kesedihan di saat yang sama. “Waktu itu, Kak Fayra diam saja, padahal aku sering mengajaknya berbicara. Wajahnya juga terlihat sangat pucat. Saat kutanya, Kak Fayra juga tidak bercerita, ia hanya memegangku erat, dan terlihat seperti menangis. Saat aku menoleh, aku melihat seseorang sedang menyentuhnya. Aku langsung menarik orang itu dan meninjunya! Sial! Rasanya aku ingin menendang pantat orang itu!”

“La--lalu apa yang terjadi selanjutnya?” Aku memajukan badan tanpa sadar. Aku harap Kak Fayra baik-baik saja.

“Beberapa orang juga sempat ikut mengajarnya. Entah kenapa aku puas melihatnya kesakitan seperti itu. Setelah turun, dia dibawa ke kantor polisi.” Aku melihat genangan air di mata Kak Fayruz yang dengan cepat ia hapus. “Bisa-bisanya dia melakukan hal itu pada Kak Fayra!” Nadanya yang tinggi menyiratkan betapa kesalnya Kak Fayruz pada orang yang ia maksud. “Kak Fayra sendiri kenapa juga tidak teriak!”

“Tenanglah,” ucap Kak Afkar. “Setidaknya kamu berhasil menangkap pelakunya, kan?” Kak Fayruz mengangguk pelan, meski wajahnya masih menekuk marah. “Sebenarnya, jika kamu mengatakan hal itu di depan Fayra, dia bisa sakit hati.”

“Ucapan yang mana?” Kak Fayruz memiringkan kepalanya, rambut klimisnya jatuh mengikuti gravitasi,  merasa tidak ada yang salah dengan untaian kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku juga berpikir begitu.
“Tentang Fayra yang diam saja. Jika dia mendengarkanmu berkata seperti itu, dia akan terus menyalahkan dirinya sendiri, padahal meski kamu tidak berkata seperti itu pun, dia pasti juga merasa kesal,” jelas Kak Afkar.

Kak Fayruz menutup mulutnya yang terbuka lebar, pupil matanya mengecil karena panik. “Ah, aku sudah mengatakan hal itu setelah kejadiannya terjadi. Kalau tidak salah aku juga sedikit membentaknya. Dia sampai menangis dan terus diam sampai sekarang.”

Adiksi (SEX EDUCATION?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang