4

14.8K 1.3K 8
                                    

 "Dhimas?" Aura terpaku di ambang pintu apartemen, saat mendapati Dhimas berdiri di hadapannya pagi ini. Perempuan itu buru-buru mengikat rambut yang masih acak-acakan. Matanya ia buka lebar-lebar, demi menghalau rasa kantuk yang masih bersarang.

"Ra, hari ini libur nggak?" Tanya laki-laki itu dengan wajah berseri.

"Iya, kenapa memangnya?" Jawab Aura cepat, mengingat hari ini memang tanggal merah.

"Aku mau ajak kamu lari pagi." Tutur Dhimas.

"Astaga, Dhim... Aku baru bangun, masih ileran gini. Mandi dulu bentar ya!"

"Nggak usah Ra, gitu aja udah cantik kok. Kalau mandi keburu siang." Laki-laki itu menyunggingkan senyum manisnya kala Aura mendengus.

"Kalau gitu tunggu bentar, aku mau cuci muka." Pamitnya membuat Dhimas mengangguk pelan.

"Oke deh, jangan lama-lama." Pinta laki-laki itu.

"Iya!"

"Aku udah siap, ayo berangkat." Tidak lama kemudian, Aura keluar dengan tampilan yang lebih segar. Kaos putih polos dengan celana motif pendek sebatas lutut.

Dhimas tersenyum kecil meneliti penampilan mantan pacarnya, mereka terlihat serasi dengan kaos berwarna senada.

***

"Hari ini suasananya segar banget, beda dari hari-hari biasa." Ujar Dhimas sembari mengusap peluh di keningnya. Matanya menatap awan yang berwarna biru cerah, membuat Aura ikut mendongak.

Keduanya selesai berlari mengelilingi taman sebanyak dua kali. Aura meminta berhenti karna sudah kelelahan, sedangkan Dhimas memilih menuruti permintaan perempuan itu. Meski sebenarnya dia masih bersemangat untuk lari.

"Masa sih?" Seru Aura yang merasa pagi ini biasa-biasa saja.

"Iya Ra, apalagi pagi ini larinya sama kamu. Jadi makin segar bugar." Kata-kata itu berhasil membuat Aura tersipu.

"Bisa aja kamu." Sahutnya sambil memukul pelan bahu laki-laki di sampingnya.

Dhimas tertawa, "Lama banget ya kita nggak kaya gini." Aura hanya membalas dengan senyum simpul.

"Iya Dhim, eh kita duduk di kursi taman itu aja yuk." Ajak perempuan itu.

"Boleh."

Keduanya duduk berdampingan di kursi panjang, kebetulan suasana taman pagi ini tidak terlalu ramai. Hanya beberapa orang yang berlalu lalang di sana.

Mengingat masih dalam situasi pandemi, barangkali banyak orang yang memilih berolahraga di rumah masing-masing ketimbang di tempat umum, seperti taman.

Aura menghembuskan napas pelan sembari menyandarkan punggungnya di kursi. Suasana tenang membuat Aura betah berlama-lama di sini.

"Kalau kamu nggak ngajakin lari pagi, mungkin aku baru bangun nanti siang." Celetuk Aura, sedikit merasa tidak nyaman mengakui tabiat buruknya.

"Kebiasaan," Seru Dhimas.

Sejak dulu, laki-laki itu tahu jika perempuan di sampingnya tidak begitu suka olahraga, apalagi lari. Tapi gemar sekali lari dari kenyataan.

Setiap libur kerja, Aura lebih suka menghabiskan waktu di kamar untuk tidur seharian, membaca novel atau menonton film.

"Ra,"

"Ya?" Sahut Aura, lalu menatap wajah tampan Dhimas.

"Setelah putus, pernah nggak kamu kangen sama aku?" Mendapati pertanyaan tak terduga itu, dirinya ingin sekali menangis dan menjerit, sambil berkata "Aku selalu kangen sama kamu, Dhim. Setiap detik, setiap menit, setiap saat."

Namun Aura sadar, tidak seharusnya ucapannya keluar sekarang, bahkan setelah Dhimas merasakan pengkhianatan yang menyakitkan. Hingga kata-kata itu hanya mampu ia telan.

"Aku cuma pengen tahu jawabanmu,"

"Bohong kalau aku bilang nggak pernah kangen kamu, Dhim." Jawaban itu meluncur membuat Aura merasa malu pada dirinya sendiri.

Dhimas mengangguk cepat lalu menatap lekat pada peremuan di sampingnya. Angin yang berhembus pelan, mampu menerbangkan anak rambut Aura, membuatnya terlihat begitu manis pagi ini.

"Kalau aku boleh jujur, susah banget move-on dari kamu Ra." Fakta itu tampak diucapkan dari hati yang paling dalam.

Sama Dhim, mungkin butuh seribu tahun lagi untuk berhasil moveon dari kamu.

Aura berusaha menepis kegundahan hatinya, bahkan saat tatapan Dhimas semakin lekat, perempuan itu justru berusaha memalingkan wajah. Keheningan tercipta beberapa saat, sampai suara 'kriukk' dari perut Aura membuyarkan lamunan keduanya.

Dhimas tersenyum kecil, "Lapar?" Tanya laki-laki itu dengan nada jahil. Aura tentu tergagap, merasa konyol dengan ketidaksopanan perutnya.

"Hehe, iya. Semalam memang nggak makan. Pagi tadi juga belum sarapan." Mau tidak mau, Aura akhirnya jujur.

"Lagi diet?"

"Ah, enggak."

"Cari sarapan yuk." Ajak Dhimas sembari beranjak dari kursi.

"Ke mana?" Tanya perempuan itu membuat Dhimas berfikir sejenak.

"Kamu masih suka sarapan bubur nggak?"

"Kenapa emang?" Aura mengerutkan alis bingung.

"Kalau mau, ayo mampir ke kios di ujung taman, kita sarapan dulu sebelum pulang."

"Mau banget Dhim." Sahut Aura bersemangat.

Dhimas beranjak mendekati tukang bubur, kemudian menyebutkan pesanannya.

"Pak, bubur ayamnya dua, satu isian lengkap yang satu nggak pakai bawang goreng dan nggak pakai kerupuk."

"Siap mas,"

Aura duduk tertegun saat mendengar Dhimas menyebutkan menu yang ingin ia makan.

"Kenapa bawang dan kerupuknya ditaruh ke piringku?"

"Aku nggak suka pakai bawang sama kerupuk begitu."

"Oh, apa mau pesan yang baru."

"Nggak usah, ini aja sayang."

"Besok kalau makan bubur bareng lagi, aku pesenin sesuai kesukaan kamu."

Aura mengingat dengan baik percakapannya bersama Dhimas beberapa tahun lalu. Tepatnya di awal-awal mereka berpacaran. Dulu, keduanya sering sekali keluar rumah pagi-pagi hanya untuk sarapan bersama. Menu yang sering mereka nikmati adalah bubur ayam. Dan ternyata, laki-laki itu mampu mengingat dengan baik kesukaan Aura hingga sekarang.

"Ngalamunin apa sih?" Aura terperanjat, lalu menoleh cepat ke arah Dhimas yang sudah duduk di kursi sambil membawa dua mangkuk bubur.

"Nggak ada, masih ngantuk aja." Ujar Aura berbohong.

"Dimakan, keburu dingin." Dhimas memberikan semangkuk bubur pesanan Aura.

"Makasih ya," Tatapan perempuan itu masih belum beralih dari wajah laki-laki di sampingnya.

"Kenapa lihatin aku begitu? Mau disuapin?" Tanya Dhimas sambil tertawa geli pada Aura.

"Eh... enggak, nggak kenapa-kenapa, senang aja kita bisa akrab lagi kaya sekarang." Tutur perempuan itu, berusaha tidak mengkhianati hatinya yang memang sedang berbunga.

"Kirain minta disuapin." Celetuk Dhimas.

Menikmati bubur berdua, bercanda sembari bercerita tentang hal apapun, membuat Aura sadar, komunikasi mereka selama pacaran di masa lalu memang kurang baik. Itu semua terjadi karna Aura yang terlalu membatasi diri, dan tidak peka pada perhatian-perhatian kecil yang Dhimas berikan.

Ah, andai waktu bisa diulang.... Aura ingin memperbaiki semuanya. Kehilangan Dhimas sama dengan kehilangan arah hidup. Namun apa yang pernah terjadi di antara mereka, kembali membuat Aura pesimis. Bersama Dhimas memang tidak semudah yang dibayangkan. Stop Ra, mikirnya jangan kejauhan. Ingat kesalahan besar kamu di masa lalu! Bisa dapat maaf saja sudah paling untung. Nggak usah berharap lebih!

Save The Date!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang