12

12.6K 1.4K 44
                                    

Beberapa minggu setelah pernikahan Dinda dan Dhimas dilaksanakan, nyatanya tidak membuat laki-laki itu berhenti mengusik kehidupan Aura. Bahkan, Dhimas hampir setiap hari mendatangi perempuan itu di rukonya. Apalagi kalau bukan untuk meminta penjelasan.

Berbeda dengan Aura yang tidak pernah mau menerima laki-laki itu. Dhimas justru terus memakai cara-cara baru agar bisa berbicara dengannya. Meski begitu, Aura tetap pada pendiriannya untuk bungkam. Menurutnya, sekalipun masa lalu itu dibahas lagi, tentu tidak akan merubah apapun.

Namun berbeda dengan hari-hari biasanya, sore ini yang datang ke ruko justru Ruri, mama Dhimas. Ah, bukan hal yang perlu dipertanyakan lagi mengenai tujuan wanita itu datang. Apalagi kalau bukan mengejek Aura.

"Ternyata ini tempat usaha kamu." Ujar Ruri dengan angkuh sesaat setelah masuk ke Ruko. Aura berusaha tersenyum ramah menyambut kehadirannya.

"Selamat datang di toko kue saya, bu," Sahutnya kemudian.

"Kalau saja saat itu saya tahu kue pernikahan Dinda dan Dhimas adalah buatan kamu, saya tidak akan menerimanya." Celoteh Ruri tiba-tiba.

"Maksud ibu apa ya?" Wanita yang ditanya hanya menghela nafas, tidak memberi jawaban apapun.

"Saya tahu Dhimas tidak pernah absen datang ke sini." Tuturnya setelah diam beberapa saat. Yah, benar kan ini ada hubungannya dengan laki-laki itu.

"Sekarang memang sedang jamannya pelakor, tapi saya tidak menyangka perempuan sepolos kamu akan mengikuti jejak pelakor-pelakor di luar sana." Kata-kata itu terdengar sarkas.

"Sepertinya bu Ruri salah jika menuduh saya seperti itu." Aura merasa tersinggung.

"Aura, Aura! Jangan munafik, saya tahu cinta kamu pada anak saya cukup besar. Tapi sebaiknya kamu sadar Dhimas sudah menikah."

"Kamu dan Dinda sama-sama perempuan, seharusnya paham perasaan masing-masing bukan bermain api seperti ini." Aura mengernyit sembari geleng-geleng kepala, mendengar pernyataan tidak berdasar itu.

"Maaf bu Ruri, kata-kata ibu terdengar sangat keterlaluan. Saya tidak pernah meminta Dhimas datang kemari, laki-laki itu sendiri yang setiap hari ke sini." Jawab Aura dengan nada suara ketus.

"Tamu tidak akan datang jika tuan rumah tidak mempersilahkan, Aura!" Ruri tidak mau kalah.

"Saya selalu mengusir Dhimas jika dia datang. Laki-laki itu saja yang tetap nekat."

"Kamu menyalahkan anak saya?" Teriak wanita paruh baya itu sembari menggebrak meja di hadapannya.

"Saya tidak bermaksud menyalahkan siapapun, tapi tuduhan bu Ruri membuat saya tidak terima." Tegas perempuan itu.

"Jangan mentang-mentang Dhimas masih mencintai kamu, hingga akhirnya membuat kamu berani pada saya, Aura."

"Sebenarnya masalah bu Ruri dengan saya itu apa? Tolong katakan saja apa mau bu Ruri." Putus Aura agar semuanya segera selesai. Berbasa-basi dengan orang seperti Ruri hanya akan menambah sakit hatinya.

"Jauhi putra saya! Jangan usik kehidupan pernikahannya. Pergi sejauh-jauhnya, atau kamu putuskan menikah dengan seseorang, agar Dhimas berhenti meminta kamu kembali." Aura mematung.

Apa-apaan wanita ini!

"Saya sebenarnya ingin membantu kamu, Aura. Tapi bagaimana ya, kondisi kamu saja cacat seperti ini. Mana ada laki-laki yang siap menikahi kamu." Aura tidak mengerti, dulu ia mengenal Ruri sebagai wanita yang sangat baik, meski akhirnya dialah yang membuat hubungan Dhimas dan Aura berakhir. Tapi hari ini, Aura mengenal bagaimana Ruri sebenarnya.

"Kalau menikah sekiranya cukup sulit kamu lakukan, sebaiknya pergi saja dari kota ini. Jangan lagi menunjukkan wajah kamu di hadapan putra saya."

"Saya heran, kenapa ibu justru membuat hidup saya serepot ini. Siapa anda sampai berani mengatur-atur kehidupan pribadi saya." Aura menahan sesak di dadanya. Perempuan itu berusaha melawan kata-kata Ruri yang semakin tidak karuan.

Save The Date!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang