13

11.9K 1.4K 20
                                    

"Apa lo bilang?!" Erika melotot bahkan hampir menyemburkan jus yang tengah ia minum. Aura takut mendengar reaksi saudara kembar Raka itu, apa mungkin Erika tidak akan senang menerima orang seperti aku untuk masuk ke keluarganya?

"Lo minta ijin nikah sama saudara kembar gue?" Ulang perempuan bar-bar itu.

Yah, setelah pembicaraan Raka dan Aura beberapa waktu lalu. Hari ini giliran Aura meminta restu pada Erika. Raka sudah mengatakan bahwa itu sama sekali tidak perlu, tapi untuk Aura, ini adalah hal yang penting. Apalagi setelah menikah, Erika akan menjadi saudara iparnya.

"Astaga Ra, lo nggak ngelindur?" Tanyanya dengan tatapan penuh keraguan.

"Enggak Rik, aku mau minta persetujuan kamu. Apa kamu nggak suka kalau Raka nikah sama aku?" Ujar Aura dengan raut wajah cemas.

"Ra, ini tuh bukan perkara setuju atau nggak setuju, suka atau nggak suka. Tapi lo sadar nggak sih, yang mau lo ajak nikah itu Raka." Erika menunjukkan ekspresi semakin tidak karuan.

"Ya, terus kenapa?" Aura tentu bingung apa maksud ucapan Erika.

"Lo tahu nggak sih seberapa bejatnya dia?" Bahkan seseorang yang baru saja Erika anggap bejat itu tengah berada di antara keduanya.

"Gini deh Ra, gue kenal dia dari kecil, bahkan kita berada di satu rahim yang sama. Gue tahu betul gimana tingkah polahnya." Aura menatap ke arah Raka, nyatanya laki-laki itu sama sekali tidak tersinggung. Dia tetap santai sambil makan kacang di sofa.

"Gue kasih tahu, Raka bisa jadi anjing kalau kebanyakan alkohol, dia bisa jadi predator kalau lagi sama cewek-cewek seksi. Dia bisa jadi harimau kelaparan kalau nilai sahamnya turun." Erika tampak berapi-api menunjukkan kebejatan saudara kembarnya.

"Mending lo pikir-pikir lagi deh buat nikah sama dia." Pinta Erika pada perempuan di depannya.

"Tapi, Rik. Bukannya menikah itu saling menerima bukan saling menuntut ya." Sahut Aura membuat Erika menyipitkan matanya.

"Aduh Ra, gue nggak ngerti lagi deh. Gue aja nih, yang bentukannya begini, kalau semisal pengen nikah pasti cari calon imam yang baik-baik. Bahkan gue nggak mau nemuin laki-laki modelan Raka gini!"

"Sedangkan lo yang lemah lembut begini mau nikah sama dia, duh mau jadi apa lo? Gue nggak bisa bayangin gimana perasaan lo menghadapi orang kaya dia." Aura tertawa pelan, sungguh dirinya tidak menduga respon Erika justru seperti ini.

"Rik, aku udah pikirin ini baik-baik. Dan aku optimis mampu." Aura tidak mungkin menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.

"Yang ada juga mampus! Atau jangan-jangan lo punya rencana nikah sama Raka karna mengincar kekayaannya? Mungkin aja setelah nikah lo racunin saudara kembar gue, biar lo bisa ambil hartanya iya kan? Aduh jangan berharap! Bahkan sebelum itu terjadi, gue udah bisa pastikan lo yang akan mati duluan, Ra." Erika justru heboh sendiri.

"Enggak Rik, aku nggak ada niatan begitu." Sahut Aura cepat.

"Jangan-jangan, lo pelet dia ya Ka?!" Tuduh perempuan itu sembari menatap lekat pada saudara kembarnya.

"Lo sembarangan banget ngomongnya. Nggak pakai cara begituan juga cewek-cewek udah pada ngantri." Erika memutar bola matanya malas.

"Tuh kan Ra, mending lo pertimbangkan lagi deh keputusan lo buat nikah sama laki-laki bangsat satu ini." Raka sontak melempar bantal sofa ke arah Erika.

"Jujur gue happy Riko dan Caca akan punya ibu sambung kaya lo. Gue yakin mereka akan tumbuh dengan baik."

"Tapi yang bikin gue prihatin justru kehidupan lo selanjutnya. Bisa kurus kering lo menghadapi bajingan satu ini." Erika seperti punya banyak stok panggilan kasar untuk mengumpati saudara kembarnya.

"Rik, aku cuma mau minta restu dari kamu. Seperti apa kehidupan rumah tangga kami nantinya, biar jadi tanggung jawab kita berdua."

"Kamu nggak perlu khawatir. Yang jelas, kita sudah bahas ini sebelumnya." Aura berusaha meyakinkan. Meski hati kecilnya merasa bersalah pada Erika, karna perempuan itu tidak mampu berkata jujur.

"Ya udah deh, gue merestui kok. Ka, gue harap lo bisa jadi kepala rumah tangga yang baik. Cukup perceraian papa dan mama aja yang bikin kita hancur, Riko dan Caca jangan sampai mengalami hal yang sama." Ucap Erika dengan nada sarkas seperti biasa, namun perempuan itu tampak dari hati mengucapkannya.

Raka tersenyum pelan, senyum lembut yang baru kali ini Aura lihat.

"Bisa ngomong bener juga lo! Gue kira cuma bisa mengumpat sama menghina gue." Timpal laki-laki itu sembari mengacak-acak rambut panjang saudaranya.

"Raka sialan, rambut gue jadi kusut!"

Entah mengapa, interaksi Erika dan Raka mampu membuat Aura tersenyum. Ada kehangatan antara saudara yang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata.

***

"Aku dengar, kamu mau menikah!" Celetuk Dhimas sambil mencegah tangan Aura yang ingin menutup pintu rukonya.

"Dengar dari mana?" Sahut Aura sambil menghela nafas kasar.

"Dari Dinda, kantornya Ramai membahas pernikahan kamu dan Raka." Ah, Aura lupa, Raka memang bukan orang sembarangan.

"Iya, sebaiknya kamu segera pergi." Usir perempuan itu, membuat Dhimas menggeleng cepat.

"Kenapa mendadak Ra, kenapa harus Raka?" Tanyanya.

"Untuk apa kamu bertanya seperti itu, aku mau menikah dengan siapa saja, tentu bukan urusan kamu!"

"Kamu nggak cuma dijadikan pengasuh untuk anak-anaknya itu kan Ra?!"

"Keterlaluan! Aku sayang sama Riko dan Caca. Toh setelah menikah, aku akan jadi ibu untuk mereka."

"Tapi mereka bukan anak kamu Ra!"

"Aku memang nggak bisa punya anak Dhim!" Putus Aura cepat, membuat Dhimas memucat.

"Ra, bu-bukan gitu maksud aku. Tapi aku mohon jangan Raka."

"Kenapa memangnya?"

"Laki-laki itu punya dunia yang berbeda dengan kamu Ra, kamu nggak akan bisa masuk ke pergaulannya."

"Lalu aku bisanya bergaul sama siapa? Sama kamu yang punya keluarga suka menghujat dan menjatuhkan orang lain." Kata-kata Aura berhasil membuat Dhimas mematung.

"Aku minta maaf Dhim kalau ucapanku terlalu sarkas, tapi aku mohon jangan pernah campuri urusanku lagi."

"Ingat kehidupan kita sudah berbeda, kamu sudah menikah dan punya istri. Sebaiknya urusi saja rumah tanggamu. Berhenti mengusik kehidupanku." Setelah mengucapkan itu, Aura menutup pintu dengan cepat, Dhimas masih di depan rukonya, terus berdiri di sana membuat Aura perih sendiri melihatnya dari jendela.

Rasa bersalah semakin menyeruak, kala Aura ingat bagaimana dia membentak Dhimas tadi. Tapi, kata-katanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan ucapan Ruri beberapa waktu lalu. Dhimas orang baik, tapi tidak dengan mamanya.

Yah,Aura berharap segala sakit hatinya bisa segera hilang. Perempuan itu juga inginbahagia.

Save The Date!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang