PROLOG

1K 136 1
                                    

"Orang-orang kerajaan pasti akan ke sini sebentar lagi, 'kan?" tanya sang ibu yang terbaring di atas ranjangnya. Di sisinya ada bayi berambut hitam tipis sedang menangis.

Sang ayah yang sedari tadi mondar-mandir pun berhenti tepat di sisi bayinya, menatap buah hatinya itu sambil berkata, "Benar, mereka akan ke sini dan membawa anak kita."

Mata sang istri mulai berair. Kesedihannya bukan tanpa alasan, ini soal anak yang baru dilahirkannya. Anak yang seharusnya tidak boleh lahir.

"Bayi kita tidak punya dosa, kenapa mereka mau membunuhnya? Aku rela menukar nyawaku asal anak kita selamat. Aku rela tidak bisa melihatnya tumbuh dewasa asal ia tetap hidup."

Sang suami menatap lekat wajah cantik istrinya yang sekarang penuh akan kesedihan. Ia juga tidak mau menyerahkan anak satu-satunya ini ke tangan para orang kerajaan. Benar, ia tidak akan memberikan nyawa anaknya hanya untuk dieksekusi.

Pasangan suami istri ini termasuk yang dilarang. Si perempuan adalah penyihir, sementara si pria adalah manusia biasa. Anak yang lahir dari keduanya akan menyebabkan malapetaka di kemudian hari, peraturan itu jelas tertulis, tetapi tidak ada yang tahu akan bencana apa yang terjadi bila dilanggar.

Keduanya tinggal di desa Amraal, tepat di sisi utara sungai yang terletak di pulau Owazar. Pulau terbesar di Terrann. Setelah melahirkan, si istri takkan bisa menggunakan sihirnya, ia terlalu lemah hanya untuk melindungi si kecil. Sementara si suami hanya manusia yang biasa bekerja mencari ikan di laut lepas.

"Aku akan membawanya ke bawah gunung." Si suami mulai menggendong bayinya. Istrinya menggenggam tangannya, lantas melepaskan saat ia telah diyakinkan, bahwa ini yang terbaik.

***

Di sebelah utara desa Amraal terdapat pegunungan, sementara untuk sampai di sana harus melewati semak-semak yang lumayan tinggi. Dengan langkah cepat, pria itu terus membelah dan menerjang rumput liar yang menghalangi.

Perjalanan yang ditempuh sekitar tiga kilometer, baginya ini tak seberapa dibandingkan pekerjaannya sebagai pelaut. Sampai di pegunungan, ia masuk ke dalam gua gelap nan menakutkan. Beberapa kelelawar beterbangan, dan sarang laba-laba pun kadang menempel di wajahnya.

Ada batu hitam berbentuk cekung seperti sarang burung di sana. Kata istrinya, bayi itu disuruh diletakkan saja di dalamnya. Sang bayi tersenyum saat ayahnya menitihkan air mata.

"Kata ibumu, seseorang akan menjemputmu, bersikap baiklah padanya. Turutilah apa yang ia perintahkan, dan jangan nakal, ya." Ucapan terakhir itu diiringi oleh tangis bayi yang perlahan keluar.

Sang ayah mundur perlahan sampai ia membalik badan, lalu berlari, melewati gua, lantas sosoknya hilang ditelan rumput yang tinggi itu.

***

Tangisan bayi bertambah kencang ketika suara cukup keras terdengar sampai dua kali. Ia tak mengerti kalau itu adalah suara pistol yang memuntahkan pelurunya dari arah desa Amraal.

Malam hari pun menyapa, cahaya bulan melewati bibir gua, saat itu sosok bayangan membuat cahaya tersumbat. Seseorang dengan jubah hitam yang menutupi kepalanya. Ia semakin mendekat, lantas menatap sang bayi yang kini malah terdiam. Kedua tangannya terulur, menggendong si kecil.

Pria berjubah itu kembali keluar. Ia berhenti saat di bibir gua, lalu menatap bulan yang menyapanya, "Namaku Deroon," mata tajam bercahaya kuning keemasan beralih ke si kecil, "Dan kau akan bersama pamanmu ini, Gill."

****

The Disaster BearerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang