Bab 28 - red

88 26 2
                                    

Nenek mengetuk pintu, sementara Ezara dan Eiri tepat di belakangnya. Tak lama pintu terbuka, lalu seorang pemuda pun muncul, dengan senyum, dengan rambut gondrongnya.

Ezara tak berkedip menatap pemuda itu. Bukan karena tampan atau kagum, melainkan ia seperti pernah bertemu dengan Dkaal, rambutnya, ciri-cirinya seperti tinggi badannya, wajahnya dengan hidung mancung itu. Namun, ia segera membuang prasangka buruk, tak mungkin juga pemuda di depannya adalah si pencuri semalam, 'kan?

Mereka masuk, duduk di ruang tamu yang sempit.

"Dkaal memang masih seperti kalian, tapi dia yang paling tahu seluk beluk pulau ini dibandingkan orang dewasa sekali pun," tutur Nenek setelah memperkenalkan keduanya dengan Dkaal.

"Muka Merah memang ada, aku pernah ditangkap, cuma dilepaskan lagi. Kata mereka, aku tak berguna, masih anak-anak dan mereka tidak menangkap anak-anak," jelas Dkaal sambil duduk di kursi miliknya.

"Mereka manusia biasa atau penyihir?" tanya Eiri.

"Tidak, untuk hal itu aku tak tahu. Namun, tak mungkin mereka orang biasa, 'kan? Maksudku, kelompok yang besar tak mungkin hanya dari satu ras saja."

Ezara mendengarkan sambil menatap seluruh ruangan. Tengkorak hewan, beberapa lukisan wajah Dzaal dan nenek, dan yang paling membuat Ezara terkejut adalah tongkat kayu yang bersandar di tembok, sama persis dengan yang digunakan pencuri semalam.

"Kenapa?" Dkaal bertanya karena cukup lama tamunya yang bernama Ezara menatap ke arah lain, dan Dkaal sadar tamunya itu melihat senjata tongkatnya, "Oh, itu, tongkat pemberian seseorang."

"Ah, iya, aku hanya kagum, kau tahu tongkat itu terlihat cukup untuk memukul orang sampai tak sadarkan diri." Ezara berkilah.

Dkaal mengambil tongkatnya, dia di sana memutar tongkat itu tepat di depan badannya, seolah menunjukkan keahliannya dalam memainkan sebuah tongkat panjang. Dengan itu pula Dkaal dengan mudah menghabisi beberapa musuh yang memakai senjata jarak dekat atau tanpa sihir.

"Jika kalian berdua mau menyelamatkan teman-teman kalian itu, modal tangan kosong tanpa kekuatan hanya seperti menyerahkan diri saja. Sia-sia saja jika kalian ke sana."

"Kami tahu itu," Ezara mengembus napas pelan. Ia menatap Eiri, untung saja dua orang di depannya tidak tahu kalau Eiri bisa sihir dan itu cukup kuat untuk mengalahkan beberapa orang dewasa.

"Eiri, sihirmu pun takkan sanggup mengalahkan kelompok itu. Lagi pula sihir di sana takkan berfungsi, yah semacam ada penghalang," tutur Dkaal yang membuat Ezara dan Eiri cukup terkejut, percuma memang untuk menutupi kebenaran tentang Eiri di dalam sebuah desa yang dikelilingi oleh banyak ras.

"Jadi, apa saran yang bagus untuk kami agar bisa menyelamatkan teman-teman kami?" Ezara bertanya.

"Di pulau ini, ada mitos tentang api abadi. Hanya mereka yang dipilih oleh api itu yang bisa mengendalikannya, artinya orang yang terpilih itu akan mendapatkan kekuatan untuk mengeluarkan api dari tangannya," tutur Dkaal, tetapi setelahnya ia tersenyum, lantas melanjutkan, "Katanya tak ada yang pernah bisa mengendalikan api itu, bukannya punya kekuatan, malah mati ditelan api itu sendiri."

"Gila, risikonya mati? Bagaimana aku bisa jadi penyelamat kalau aku mati?" Protes Ezara, ia bersedekap, memikirkan hal ini, tetapi setelah beberapa saat ia berdiri, tak ada cara lain, jika ini satu-satunya cara, maka tak ada salahnya dicoba, "Di mana tempatnya?" tanya Ezara sambil meletakkan kedua tangan di atas meja, matanya menatap Dkaal tajam.

"Apa untungnya bagiku?" Dkaal menantang.

Ezara tersenyum sebelum menjawab, "Rahasiamu aman, aku tahu apa yang kau lakukan malam tadi."

The Disaster BearerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang