Bab 27 - village

87 28 1
                                    

Sebuah desa yang cukup ramai, tersembunyi dari balik pegunungan. Saat sampai, Ezara dan Eiri menatap sekitarnya, dari arah hutan mereka agak ragu untuk keluar. Sedikit takut dengan orang baru.

"Mereka cuma warga biasa, 'kan?" Ezara menanyakan pada Eiri yang terbang telat di sebelahnya.

"Kalian berdua kenapa keluyuran di hutan?"

Ucapan itu membuat Eiri dan Ezara membalikkan badan, suara yang renta memang datang pula dari seorang nenek yang sedang membawa golok dan mengumpulkan kayu. Bukan ancaman, hanya nenek-nenek yang bertanya.

"Bukan apa-apa, Nek," jawab Ezara meringis sambil menggaruk lengan kanannya karena beberapa nyamuk yang menggigit, atau nyamuk yang menghisap? Entahlah.

Eiri bersembunyi di balik badan Ezara, tepat di balik punggung temannya itu. Ia takut jika keberadaannya membuat heran mengingat ukuran tubuh yang tak normal.

"Orang tua kalian di mana?" tanya si nenek bersanggul sambil berjalan mendekat.

Eiri muncul, percuma ia bersembunyi dari nenek-nenek yang dari awal sudah mengetahui keberadaannya. Nenek itu juga sama sekali tak heran, seperti sudah terbiasa melihat ras yang berbeda.

"Kami cuma berdua, Nek." Ezara menjawabnya saat si nenek sudah tepat di hadapannya.

"Oh, maaf nenek tidak tahu. Jadi, kalian berdua tinggal di distrik mana?"

Ezara dan Eiri saling pandang. Mereka bingung mau menjawab apa, tak mungkin juga langsung berkata jujur kepada seseorang yang baru dikenal, setidaknya inilah yang diajarkan Gill dan yang lainnya sewaktu di atas kapal.

"Kalian mau ikut nenek? Sepertinya kalian butuh tempat menginap, 'kan?" Sang nenek mulai berjalan, tetapi saat tahu kedua anak itu tidak mengikutinya, ia berhenti, lalu menengok sebentar sambil berkata, "Kalian lapar, 'kan?"

Keduanya mengikuti karena sadar akan rasa lapar yang tidak dapat ditahan. Tak masalah, toh nenek itu sepertinya orang yang baik, mereka bisa mempercayainya.

Sampai di jalanan desa, Ezara dan Eiri sadar kenapa sang nenek tak heran dengan Eiri. Semua orang di sini berbeda-beda ras, mereka berbaur dengan damai, saling tertawa, dan semua itu membuat Eiri tersenyum, seolah inilah yang ia cari, tempat yang tak menyatukan semua orang.

Gubuk reot, tapi cukup besar. Itulah gambaran rumah si nenek, pintunya dibuka, dan di dalam penuh akan barang-barang berharga, gelas, guci, dan berbagai peralatan lain. Ada beberapa kursi kayu yang berjajar setiap sisi meja persegi empat yang cukup panjang. Di atas meja itu penuh akan makanan, buah-buahan, daging.

"Duduk dan makanlah, kenyangkan perut kalian." Nenek itu masuk ke satu ruangan yang Ezara tebak adalah dapur dari bau sangitnya.

Ezara dan Eiri tak mengambil makanan yang ada di meja, bahkan sampai si nenek keluar dari dapur. Keduanya tahu sopan santun, mereka memang sudah disuruh untuk makan, tetapi mereka takkan mengambil makanan itu saat si pemilik ada di hadapan mereka.

"Loh, belum diambil makanannya? Kalian lapar, 'kan?" Si nenek mengambil piring, menaruhkan di depan kedua remaja itu. "Nah, sekarang ambilah sesuka kalian, ini semua gratis, loh, jadi jangan malu-malu." Si nenek tersenyum, membuat kerutan di wajahnya semakin bertambah.

Suap demi suap masuk ke mulut Ezara. Ia lapar, terlebih lagi makanan yang ada di depannya juga enak. Benar kata beberapa orang, nenek-nenek pasti masakannya enak.

Eiri yang memang berukuran kecil itu hanya sedikit mengambil daging. Sedikit menurut Ezara dan Si nenek, tetapi banyak menurut perspektif Eiri, cukup untuk membuatnya tak makan lagi saat malam tiba.

"Terimak kasih, Nek. Kamu berdua beruntung bertemu denganmu." Eiri duduk di atas meja, tubuhnya yang kecil itu tak membuat meja penuh, dia hanya seukuran telapak tangan Ezara yang masih gadis kecil.

The Disaster BearerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang