DC-13

78 7 4
                                    

Kejadian semalam ternyata membuat Dava masih merasa kesal hingga pagi ini. Untung saja hari ini dia masuk malam, jadi bisa meluapkan segala kekesalannya di rumah.

Alika yang baru masuk ke kamar Dava membelalakkan matanya. Kondisi kamar itu sangat berantakan, tidak seperti biasanya. Alika dibuat bingung sendiri, karena baru kali ini mendapati kamar Dava berantakan.

Ia berjalan mendekati Dava yang hanya duduk termenung di atas tempat tidurnya. Raut wajah Dava sangat menyeramkan pagi ini di mata Alika, entah apa yang membuat sepupunya seperti itu.

"Bang ...." Alika memanggilnya dengan suara lembut. Ia takut di santap oleh Dava.

Tanpa menoleh ke arah Alika. Dava membalas, "Apa?"

"Lo kenapa? Kok, ini berantakan banget?" Alika menegang, karena kini Dava menatapnya dengan tatapan yang tidak bersahabat.

"Kenapa sih, harus ada manusia yang kelakuannya mirip kayak lo? Terus harus ketemu sama gue? Satu aja bikin gue stres, terus ditambah lagi."

Alika mengerutkan keningnya tak paham. "Kenapa jadi ke gue?" tanyanya

"Ya terus mau ke siapa? Mama gue? Papa gue? Mama lo? Papa lo?"

"Lo kalau emang udah stres, ya stres aja dong. Jangan bawa-bawa gue dan seakan gue yang salah."

Benar! Dava bergeming di tempatnya mendengar ucapan Alika. Kini, ia merasa bersalah kepada Alika karena sudah membawa dirinya dan menyalakan dirinya, padahal Alika tidak tau apa-apa.

"Sorry," ucap Dava pelan

Alika hanya mengangguk. "Ada masalah?" tanyanya

"Gak ada."

"Bohong."

"Gue serius."

"Gak, lo bohong. Coba cerita!"

"Gue bilang gak ada, ya gak ada. Ngapain lagi sih ke kamar gue?!"

Nah, ini yang Alika cari dari tadi. Dava yang ketus dengannya. Sebenarnya Alika tidak kepo dengan alasan apa Dava bertingkah seperti ini, dia cuma memancing Dava agar kembali menjadi Dava yang ia kenal.

"Gue kesini mau cerita sesuatu," ucap Alika

"Kalau cerita lo tentang si kancil, atau tentang petualangan Dora, gak usah!"

Alika melempar bantal yang ada disampingnya ke wajah Dava. "Kapan lo bisa terima kenyataan kalau gue ini udah dewasa?!"

"Kapan, ya?" Dava mengetuk jari telunjuknya di dagu, "Kayaknya gak akan pernah," ucapnya lanjut

"BANG DAVA, IIIHHHHHHH!!!" Alika menjambak rambut Dava tanpa ampun.

"Aw, Al. Udah! Sakit banget, woi." Dava mengadu kesakitan

Alika melepas tangannya dari rambut Dava. "Makanya, jadi orang jangan ngeselin," ujarnya

"Gue gak ngeselin, lo aja yang baperan."

Alika menghela napas. "Bang, gue tuh kesini mau cerita sesuatu. Please, dengerin gue dan jangan ngajak gue berperang dulu!"

"Sok serius lo, bocah." Dava menoyor kepala Alika. "Ceritanya nanti aja, sekarang lo bantuin gue dulu beresin, nih, kamar!" titahnya

"Dih, ogah." Alika beranjak dari duduknya dan langsung berlari keluar dari kamar Dava

Dava hanya menggeleng pelan. Kemudian, ia bangkit dari duduknya. Lalu, mulai membereskan kembali kamarnya yang sudah seperti kamar gadis sedang galau. Hancur.

Sedangkan di rumah sakit. Ada seorang gadis yang sedang duduk di dalam sebuah ruangan, ia sudah menunggu pemilik ruangan itu selama hampir tiga jam lamanya.

Untuk yang kesekian kalinya, Qila melirik jam berwarna pink yang melingkar indah, di pergelangan tangannya. Kemana sebenarnya Dava? Kenapa sampai sekarang pria itu tak kunjung masuk ke dalam ruangannya?

Merasa lelah, akhirnya Qila beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari ruangan Dava. Ia membawa sepasang kakinya menuju resepsionis.

"Sus!" panggil Qila

Perawat itu mendongak. "Iya, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau tanya. Dokter Dava dimana, ya?"

"Apakah ada janji dengan dokter Dava?"

Qila mengangguk, lalu menggeleng. Membuat perawat di depannya mengerutkan keningnya.

"Gak ada, sus."

"Apakah ada keluhan dengan pelayanannya? Jika a—"

"Enggak ada, sus. Saya cari dokter Dava karena mau ngomong sesuatu." Qila menyangga

"Silahkan di titipkan dengan saya. Nanti, sa—"

"Enggak bisa, sus. Ini ucapan, bukan barang yang main di titipin aja."

Perawat itu mendengus, karena sudah dua kali Qila memotong ucapannya tanpa izin.

"Maaf, sepertinya pagi ini bukan jam kerjanya. Silahkan datang ke—"

"Terus saya bisa ketemu dia kapan, sus?"

"Astaghfirullah, mbak. Bisa gak, jangan potong ucapan saya? Ini juga saya mau ngasih tau."

Alih-alih merasa bersalah, Qila malah tertawa karena sudah membuat perawat itu kesal di pagi hari.

"Lanjut, sus!" titah Qila

Perawat itu menghela nafas. "Saya udah gak mood, buat ngasih tau."

"Eh? Masa gitu aja ngambek, sih."

"Saya gak bilang ngambek, saya bilang gak mood."

"Sama aja." Qila lanjut berucap, "Cepetan, sus. Kasih tau saya, kapan sa—"

"Nanti malam." Bukan perawat itu yang memotong ucapannya.

Qila membalikkan badannya untuk mengetahui siapa pemilik suara itu. Saat sudah berbalik sepenuhnya, Qila mendapati seorang wanita menggunakan jaz putih khas seorang dokter. Ia melirik papan nama yang ada di depan dada kanannya.

"Dokter Rara, tau darimana?" tanya Qila

Alih-alih menjawab. Rara balik tanya, "Ada perlu apa memangnya kamu, sama dokter Dava?"

"Perlu bicara."

Rara mengerutkan keningnya. "Bicara? Apa yang mau kamu bicarakan sama dia?"

"Rahasia, dok."

"Jawab!"

Suasana berubah menjadi tegang saat Rara membentak Qila di tambah tatapannya yang seakan ingin membunuh Qila di detik itu juga.

Tapi, bukan Qila namanya kalau sampai nyalinya ciut hanya mendapat perlakuan seperti itu.

"Harus banget gitu, ya, saya kasih tau? Memangnya dokter ini siapanya dokter Dava?"

Rahang Rara mengeras, ia yang tadinya berpikir kalau gadis itu akan merasa takut ternyata dugaannya salah. Gadis itu semakin menantangnya.

Para perawat yang sedang berada di sekitar mereka, seakan menunggu jawaban dari Rara atas pertanyaan dari Qila.

"Lah, malah kabur?" kata Qila. Karena Rara tidak menjawab pertanyaannya, dan langsung pergi begitu saja dari hadapannya.

"Dia siapanya dokter Dava, sus?"

°°°°----°°°°

Dokter CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang