"Heh, bangun!!!"
Tidur Alika terganggu, saat merasakan lengannya digoyangkan oleh seseorang. Dengan malas, Alika membuka kedua matanya, dan pemandangan pertama yang ia tangkap adalah ruangan serba putih. Ia mengerutkan keningnya, namun sedetik kemudian ia sadar kalau dirinya masih berada di rumah sakit.
Tapi, tunggu! Ini bukan ruangan sepupunya. Menyadari itu, Alika bangkit dari tidurnya.
"Enak banget tiduran disini."
Alika menoleh ke samping. Astaghfirullah! Ia baru sadar jika ada seorang wanita berjas putih khas seorang dokter yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya.
"Maaf, dok. Saya juga gak tau kenapa bisa ada disini," ucap Alika
Dokter itu berdecih. "Gak usah sok polos," ucapnya
"Saya beneran gak tau, dok. Mungkin dokter Dava yang membawa saya kesini." Alika dapat menangkap perubahan raut wajah dokter itu, yang tadinya kesal kini bertambah kesal.
Ah iya! Alika ingat dengan dokter itu. Dia lah satu-satunya dokter wanita yang menatap tak suka kepadanya sejak ia masuk ke dalam rumah sakit tadi bersama dengan Dava. Dari raut wajah itu, Alika dapat menebak kalau dokter yang bernama Rara itu pasti menyukai sepupunya.
"Kamu apanya dokter Dava?"
"Se—" Alika menghentikan ucapannya. Otak cerdasnya langsung memunculkan sebuah ide. "Saya calon istrinya," ucap Alika lanjut
"Calon istri?" Rara langsung tertawa. "Halu," ucapnya
"Kalau gak percaya, ya udah. Biar nanti undangan kami, yang bikin dokter Rara percaya." Setelah itu, Alika turun dari hospital bed dan langsung berjalan untuk menemui Dava.
Sementara Rara yang masih berada di dalam ruangan mengepal kedua tangannya kuat, menahan emosinya yang sudah bergejolak. Sorot matanya pun memancarkan kebencian kepada Alika yang sudah hilang saat pintu ruangan itu tertutup.
"Alika, lo bego ya? Bisa-bisanya lo ngomong calon istri Dava, harusnya tadi lo ngomong pacarnya aja, ah bego." Alika merutuki dirinya sendiri saat mengingat ucapannya.
Bukan apanya, hanya saja sudah ia pastikan Dava akan mengejeknya jika nanti ia menceritakan tentang kejadian tadi. Alika berniat untuk tidak menceritakan, tapi di lain sisi ia merasa menghianati Dava jika dirinya tidak jujur dari awal.
Saat tangannya membuka pintu ruangan Dava, Alika tidak menemukan sosok pria itu. Kemana dia? Apa mungkin Dava masih ada jadwal operasi? Mungkin, itu pikir Alika. Daripada bergelut dengan pikirannya, ia memilih untuk menunggu saja.
Di lain sisi, ada Dava dan Aldi yang mati-matian berusaha agar terlepas dari wanita yang sudah menyeret mereka masuk ke dalam ruang rawat anak gadisnya.
"Gak! Kalian gak boleh pergi dulu," kata wanita itu.
"Maaf, Bu. Kami harus pulang, karena tugas kami malam ini sudah selesai," ucap Dava
Sumpah! Saat ini, Dava merasa sangat kesal dengan wanita paruh baya itu. Bagaimana tidak, sekarang sudah pukul sepuluh bahkan sudah mendekati setengah sebelas malam, perutnya lapar, ditambah tubuhnya yang sudah benar-benar sangat lelah. Juga, ini bukanlah bagian dari tugas Dava, tapi, wanita itu terus memaksa Dava untuk tetap tinggal di dalam ruangan anaknya.
Aldi yang tak sengaja melihat rahang Dava yang mengeras, merasa takut sendiri. Dirinya takut kalau sampai Dava lepas kendali, karena sudah terlalu emosi. Sebenarnya, Aldi juga merasa hal yang sama seperti Dava, karena bukan hanya Dava yang dipaksa untuk tinggal, tapi, dirinya pun.
"Tapi, siapa yang akan tangani anak saya, jika nanti dia kenapa-kenapa?"
Apakah wanita itu baru ke rumah sakit? Pertanyaan itu sangat polos di telinga Dava.
"Tentu nanti ada seorang dokter yang akan menangani putri ibu, tapi dokter itu bukan dokter Dava, karena sekali lagi dokter Dava ini dokter spesialis bedah, Bu. Harap pengertiannya!" ujar Aldi
"Ma, biarin dokter ganteng pulang! Kasihan, kayaknya dia udah capek banget," ucap gadis yang masih terbaring di atas hospital bed.
Wanita itu menoleh ke anaknya dan mengangguk. Kemudian ia kembali menoleh ke arah Dava. "Ya sudah kalau begitu, kalian boleh pulang!"
Dava hanya bisa menghela napas. Wanita itu seakan menjadi atasan Dava malam ini, yang semua ucapannya harus Dava turuti. Setelah mengucap salam, Dava dan Aldi berjalan keluar dari ruangan.
Akhirnya, mereka bebas.
"Hampir saja, saya meluapkan emosi di depan ibu itu," ujar Dava
Aldi yang berjalan di sampingnya hanya terkekeh menanggapi ucapan Dava.
Kini, keduanya masuk ke dalam ruangan masing-masing. Dava membelalakkan matanya saat mendapati Alika yang sedang duduk di kursi kebesarannya. Gara-gara drama dari seorang ibu dan anaknya, ia sampai lupa dengan Alika yang ikut dengannya, bahkan ia lupa kalau tadi ia menitipkan Alika di sebuah ruang rawat.
"Maafin gue, yang sampai lupa sama lo disini," ucap Dava
Alika mengangguk paham. "Gak papa, kok. Lagian gue yang ngotot pengen ikut."
"Ya udah, yok balik!" Dava mengambil jas putihnya dan tas kerjanya.
Kemudian, mereka berdua keluar dari ruangan Dava. Lagi-lagi, mereka berpapasan dengan Aldi. Jadi, mereka berjalan beriringan untuk menuju parkiran, dengan posisi Dava di tengah, Alika di samping kiri Dava dan Aldi di samping kanannya.
Para suster dan dokter wanita menatap kearah mereka, saat Alika yang dengan santainya merangkul lengan kiri Dava. Ada yang menatap kagum, iri, dan benci.
Sampainya di parkiran, Alika langsung masuk ke dalam mobil Dava, begitupun dengan Dava setelah berpamitan dengan Aldi, ia menyusul Alika untuk masuk ke dalam mobilnya. Dava menoleh ke arah Alika yang saat ini sudah memejamkan matanya, ia melirik jam yang melingkar di tangannya.
"Pantas," gumam Dava saat melihat jam itu menunjukkan pukul sebelas malam.
Setelah memasang seat belt miliknya dan milik Alika, Dava langsung menancap gas mobilnya meninggalkan rumah sakit menuju rumahnya. Iya, malam ini Dava membawa Alika ke rumahnya, dan membiarkan gadis itu menginap. Karena jika ia membawa Alika pulang ke rumah orangtuanya, sudah Dava pastikan kalau sepupunya itu akan kena ceramah tujuh hari tujuh malam.
Sekitar sepuluh menit, mobil Dava sudah terparkir di halaman rumah. Ia turun lebih dulu, lalu berjalan memutari bagian depan mobil dan membuka pintu samping Alika. Dava membuka seat belt Alika, lalu dengan hati-hati Dava mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Tubuh Alika yang terbilang mungil, membuat Dava tidak merasa kualahan saat mengangkatnya. Padahal, gadis itu sudah berumur dua puluh satu tahun, tapi tubuhnya masih segitu saja.
Sampai di ruang keluarga, Dava mendapati kedua orangtuanya yang masih menonton. Ia hanya mengucap salam, selamat malam, dan Dava naik ke atas dulu, kepada kedua orangtuanya dengan suara yang pelan, agar Alika tidak terbangun.
Dava membawa Alika ke lantai dua, lalu ia memasukkan Alika ke dalam satu kamar yang berada di samping kamar Dava. Kamar itu awalnya adalah kamar tamu, tapi sekarang diubah menjadi kamar khusus untuk Alika, karena Alika sering menginap di rumahnya. Bahkan, di dalam lemari yang ada di kamar itu sudah diisi oleh pakaian Alika.
Setelah memastikan tidur Alika nyaman. Dava mengambil langkah untuk keluar, dan menuju kamarnya untuk membersihkan badan, lalu makan, dan istirahat.
°°°°°°°
Udah tercium nih, kehadiran seseorang. Hihi
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Cinta
Подростковая литератураMenjadi seorang dokter spesialis bedah, jelas menjadi keinginan Dava. Tapi, bertemu dengan pasien aneh, dan super nyebelin jelas tidak masuk dalam daftar keinginannya. Namun, sepertinya Tuhan sedang menguji kesabaran Dava. Setelah kejadian, dimana d...