DC-1

242 20 23
                                    

"Masih ada jadwal operasi?"

"Ada, dok. Jam tiga."

Dava Guntara Aditya, seorang dokter bedah di salah satu rumah sakit ternama yang ada di Jakarta. Dava sudah mengabdi kepada rumah sakit itu selama tiga tahun.

Saat ini, Dava sedang berjalan di lorong rumah sakit ditemani dengan Aldi, asistennya. Setelah tadi Dava melakukan operasi kepada satu pasien yang kecelakaan, kini mereka berjalan menuju kantin rumah sakit yang dikhususkan hanya untuk para dokter, perawat, dan petugas rumah sakit lainnya.

Setelah mengambil makan siang yang sudah disediakan, mereka berjalan menuju meja kosong yang letaknya dekat dari pintu masuk.

"Lo makin kurusan deh, Dav," ucap Aldi.

"Perasaan lo doang."

Beginilah keduanya jika sedang tidak berada di dalam rumah sakit, mereka akan menghilangkan pembicaraan formal dan menggantinya dengan pembicaraan yang lebih santai. Awalnya Aldi menolak, karena merasa tidak enak saja kepada Dava, tapi Dava tetap memaksa dengan alasan, mereka sepantaran, dan Dava sudah menganggap Aldi sebagai seorang sahabat.

"Enggak! Lo emang kurusan, makanya nikah biar ada yang rawat," ujar Aldi

"Iye tau, yang baru kawin."

"Nikah!"

"Tapi, udah kawin kan lu?"

Aldi diam. Mana mungkin ia memberitahu Dava tentang hal itu, walaupun Dava sahabatnya tapi itu tetap sebuah aibnya dengan sang istri. Sementara Dava tertawa melihat Aldi yang tiba-tiba diam karena dirinya menanyakan hal yang sensitif.

Aldi dan Dava sudah berusia dua puluh sembilan tahun, bahkan beberapa bulan lagi Dava akan menginjak usia tiga puluh tahun. Usianya terus bertambah, sementara statusnya tak kunjung berubah. Berbeda dengan Aldi, pria itu sudah menikah dari dua minggu yang lalu.

Kesendirian Dava bukan berarti tidak ada gadis yang mau dengannya. Justru, sangat banyak, dan diantara mereka ada yang dengan terang-terangan menyatakan perasaannya kepada Dava. Tapi, entahlah sampai detik ini belum ada satupun gadis yang dirasa pas untuk menjadi istrinya. Dava memang punya prinsip, satu kali memilih pasangan dan langsung menghalalkan, dia tidak mau bertele-tele melewati hubungan yang namanya pacaran itu. Baginya, itu hanya akan membuang waktu.

Tak terasa, makanan mereka sudah habis. Mereka pun bangkit, lalu berjalan keluar dari kantin untuk kembali ke ruangan masing-masing. Dengan ramah Dava membalas sapaan setiap orang yang menyapanya, dan sesekali ia yang menyapa para pasien yang kebetulan sedang mencari udara segar.

Sampai di dalam ruangannya, Dava langsung mendudukkan bokongnya, kemudian tangannya meraih map yang tertumpuk di atas mejanya. Dengan fokus, Dava membaca isi dari map tersebut, yang tentunya tentang perkembangan pasiennya.

Jam di dinding ruangan Dava seakan berputar sangat cepat, tak terasa sekarang sudah jam tiga saja. Tapi, Dava terlalu fokus dengan tulisan-tulisan yang dibacanya, sampai ia tidak sadar jika sudah waktunya ia menjalankan operasi.

"Dokter Dava!"

Refleks Dava mendongak, dan mendapati Aldi yang entah sejak kapan masuk ke dalam ruangannya. "Kenapa?" tanyanya

"Waktunya operasi Pak Dokteerr ...." Aldi geram sendiri kepada sahabatnya.

Dava yang baru sadar dengan jadwalnya, langsung beranjak dan menyuruh Aldi untuk menyiapkan perlengkapan operasinya, sementara dirinya sudah disibukkan memasang pakaian hijau khas dari seorang dokter bedah.

"Sudah siap semua, dok," ujar Aldi

Dava mengangguk, kemudian mereka berdua berjalan menuju ruang operasi. Setelah sampai di dalam ruangan, Dava memeriksa semua perlengkapannya, bukan tidak mempercayai Aldi, tapi siapa tau saja ada yang terlupakan mengingat Aldi hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari 'lupa'. Setelah itu, Dava mengajak semuanya untuk memanjatkan doa. Lalu, ia mulai menjalankan operasinya.

Setiap menjalankan operasi seperti saat ini, sorot mata Dava akan memancarkan sebuah harapan, berharap semuanya berhasil, agar tidak ada pihak yang terluka. Keringat Dava sudah bercucuran di pelipisnya, dengan sigap Aldi menghapus keringat Dava menggunakan tissu yang memang selalu di sediakan kala Dava tengah melakukan operasi.

Dava sangat fokus, dalam hati dia terus berdoa meminta agar diberi kelancaran. Disini, Dava hanya sebagai perantara untuk menyembuhkan seseorang, dan yang menentukan bagaimana nasib orang itu adalah Tuhan. Setidaknya dirinya sudah berusaha, kalaupun nanti ia gagal, dengan lapang dada ia menerima segala cacian dari keluarga pasien.

Satu jam berlalu, akhirnya Dava berhasil menjalankan operasinya kali ini. Dia pun pamit kepada para suster yang menemaninya di dalam ruangan, begitu juga dengan Aldi.

"Selamat, dok!" Aldi selalu memberi selamat kepada Dava jika operasinya berhasil, dan Aldi akan selalu memberi semangat kepada Dava jika operasinya gagal.

Sekarang, Dava sudah kembali di dalam ruangannya. Ia mendudukkan tubuhnya karena sedikit merasa lelah.

"Gak balik?" Dava membuka matanya dan mendapati Aldi yang berada di ambang pintu.

"Duluan aja!" Aldi mengangguk, kemudian ia menutup kembali pintu ruangan Dava, lalu, berjalan untuk pulang menemui sang istri.

Sementara Dava, pria itu kembali memejamkan matanya seraya menyandarkan kepalanya di kursi yang ia duduki.

Setelah dirasa lelahnya sudah tidak terlalu, akhirnya Dava membereskan mejanya yang sedikit berantakan, lalu, ia beranjak mengambil jas putih khas dokter dan tas kerjanya. Kemudian ia berjalan keluar dari ruangannya, menuju mobilnya yang berada di parkiran khusus dokter.

"Selamat beristirahat Pak Dokter," ucap salah satu resepsionis yang berjaga di dekat pintu masuk UGD. Dava hanya tersenyum ramah dan mengangguk menanggapinya.

Sampai di parkiran, Dava langsung masuk ke dalam mobilnya, lalu, menancap gas menuju rumahnya. Hari ini, Dava tidak terlalu merasa lelah, karena cuma ada dua jadwal operasi. Dava menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Hanya memakan waktu sepuluh menit, akhirnya Dava sudah sampai di pelataran rumahnya. Setelah memarkir rapi mobilnya, Dava keluar dan berjalan masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum, Dava pulang." Terdengar balasan dari dalam rumah. Dava membawa kakinya terus berjalan masuk, saat sampai di ruang keluarga ia mendapati Aditya dan Ros yang sedang menonton.

"Duh, romantisnya pengantin lama," sindir Dava.

"Duh kasian yang masih lajang." Aditya kembali menyindir putranya.

Dava yang merasa disindir langsung memberikan tatapan tajam ke arah Ayahnya. Sementara Ros yang melihat keduanya hanya bisa menggeleng, memang selalu seperti ini Aditya dan Dava. Mereka tidak seperti seorang Ayah dan Anak, melainkan teman. Ditambah wajah Aditya yang memang masih terlihat muda, tak sedikit orang di luar mengira mereka itu saudara.

Dava beranjak dari duduknya, ia pindah duduk di samping Ros, kemudian ia langsung memeluk tubuh Ros dari samping. Aditya yang melihat itu, langsung mendorong tubuh Dava menjauh dari istrinya.

"Ini istri ayah, bagian ayah. Makanya nikah sana!" Kemudian Aditya menarik lembut tangan Ros untuk pergi dari ruang keluarga.

"Sabar, Dav," ucap Dava sembari mengelus dada.

°°°°°°°°


Jangan lupa vote ya! Dukung cerita ini:')

Dokter CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang