DC-10

86 7 3
                                    

"Dokter ganteng?"

Dava yang merasakan panggilan itu tertuju padanya menoleh, dan mendapati seorang gadis sudah berdiri di sampingnya.

"Kamu manggil saya?" tanya Dava

Gadis itu mengangguk. Ia memandangi wajah Dava, yang sepertinya lupa dengannya. "Dokter lupa sama saya, ya?" tanyanya

Dava mengerutkan keningnya. Sedari tadi, ia sudah memutar otaknya untuk mengingat sesuatu. Panggilan itu. Suara itu. Gadis itu. Dava ingat sekarang, nama gadis itu adalah Qila dan hanya gadis itulah satu-satunya orang yang memanggilnya dokter ganteng.

"Saya ingat, kok," ucap Dava

Saat ini, Dava sedang berada di depan penjualan buah yang berada di pinggir jalan. Sepulang dari rumah sakit tadi, Mamanya menyuruhnya untuk membelikan buah anggur, pisang, naga, dan alpukat. Awalnya, Dava merasa damai memilah buah-buahan yang tersedia disana, tapi ketika sosok Qila muncul, mood Dava langsung berubah dan rasanya ingin cepat pulang agar terhindar dari gadis itu.

"Dokter ganteng, selalu beli buah disini, ya?"

Dava menganggukkan kepalanya. Walaupun baru kali ini ia kemari, tapi ia mengiyakan saja, lantaran sangat malas meladeni Qila.

"Wah ... sama dong kalau gitu." Qila penuh semangat

Dava tidak menggubris ucapan Qila, ia memilih untuk berbicara kepada penjual buah, dan meminta bantuan untuk dipilihkan buah-buahan yang segar. "Pak, bisa minta tolong pilihkan saya buah-buahan yang segar? Karena, saya takut kalau saya yang pilih nanti dapat yang gak sesuai," pinta Dava

"Pilih aja, den! Buah-buahan saya semuanya segar, kok."

"Tap—"

"Sini, biar saya aja yang pilihin buahnya, dok." Qila menyanggah ucapan Dava.

"Eh ... gak usah!" Dava menolak, karena ia tipe orang yang sangat memikirkan hutang budi kepada orang yang sudah membantunya, walaupun tidak seberapa. Jadi, ia tidak mau sampai merasa berhutang budi dengan Qila.

"Nah iya! Biar nak Qila aja yang bantu milihin, dia jago dalam hal itu karena hampir tiap hari dia kesini," ujar penjual buah itu

Dengan senyuman yang mengembang, dan semangat yang berkobar dalam dirinya, Qila mulai memilah buah-buahan untuk Dava setelah tadi ia menanyakan buahan apa saja yang ingin dibeli oleh Dava.

Sementara Dava, pria itu hanya diam di tempatnya dengan memandangi gadis yang persis dengan sepupunya itu sedang memilihkan buahan segar untuknya. Dava mengakui kalau gadis itu memiliki paras yang cantik ditambah lesung pipi yang berada di sebelah kanan. Tapi sayang, dia sama sekali bukan tipe Dava.

Lamunan Dava buyar, saat Qila menyodorkan sekantong kresek yang berisikan buah-buahan. Lalu, ia mengambil dompetnya yang berada di saku belakang celananya.

"Berapa, Pak?" tanya Dava

"Sudah dibayar sama nak Qila, den," jawab penjual itu

Dava langsung menoleh ke arah Qila yang sedang sibuk memilah buah untuk dirinya.

"Ya sudah, ini uang untuk bayar buah-buahan dia nanti, Pak." Dava memberikan lima lembar uang kertas berwarna merah kepada penjual itu

"Wah, den. Ini terlalu banyak, dia kalau beli gak sampai sebanyak ini, kok." Penjual itu hendak mengembalikan empat lembar uang merah itu, tapi Dava langsung menahannya.

"Itu untuk Bapak," kata Dava

"Serius, den? Ya Allah gusti. Terimakasih, den. Saya doakan semoga rejekinya lancar."

Dava tersenyum dan mengangguk. "Aamiin, kalau begitu saya permisi, Pak. Mari!" Dava membalikkan badannya untuk menuju mobilnya

Saat baru saja ingin menjalankan mobil itu, hujan turun sangat deras. Dava mengerutkan keningnya memandangi langit. Ia heran, karena sedari tadi tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Memang benar, Allah maha kuasa.

Dava yang sadar jendela mobilnya di ketuk menoleh, dan mendapati Qila yang sudah basah di luar sana. Dava menurunkan kaca jendela mobil.

"Masuk!"

Qila mengangguk, dan langsung masuk ke dalam mobil Dava. Kursi samping pengemudi.

"Maaf, dok," gumam Qila yang masih dapat di dengar oleh Dava

"Kenapa kamu minta maaf?"

"Kursi mobilnya jadi basah karena saya."

Jujur saja. Sebenarnya, saat ini Dava tengah mati-matian menahan kesalnya kepada Qila, karena lagi dan lagi ia harus berurusan dengan gadis itu. Tapi, melihat wajah Qila yang sepertinya merasa takut akan dirinya yang marah, membuat kekesalan Dava hilang begitu saja.

"Udah, gak usah dipikirin! Cuma gitu doang," kata Dava berusaha membuat Qila nyaman di tempatnya. "Rumah kamu dimana? Biar saya antar," kata Dava lagi

Setelah Qila menyebutkan alamat rumahnya. Barulah Dava menjalankan mobilnya untuk menuju rumah gadis itu.

Di perjalanan, Dava ataupun Qila tidak ada yang berniat membuka suara. Dava yang memang enggan, sementara Qila sebenarnya sangat ingin, tapi, entahlah mengapa mulutnya itu seakan terkunci.

Sekitar lima belas menit, mobil yang mereka tumpangi terparkir di depan sebuah rumah megah berwarna putih dengan pagar besi berwarna hitam sebagai pembatas.

"Dokter gak mau mampir dulu?"

Dava menggeleng. "Enggak! Saya mau langsung pulang saja," jawabnya dengan ekspresi tidak ramah

"Kalau gitu, saya masuk dulu. Makasih ya, dok. Hati-hati."

Dava tidak menggubris, dan membiarkan Qila keluar dari mobilnya begitu saja. Setelah Qila menutup kembali pintu mobil, Dava langsung menjalankan mobil itu kembali untuk ke rumahnya, karena pasti Ros sudah menunggunya di rumah.

Melihat mobil Dava sudah hilang dari pandangannya, Qila membalikkan badan dan membawa kakinya untuk masuk ke dalam rumahnya.

"MAMA ... QILA PULANG!" Suara Qila memenuhi seisi rumah.

"Untuk yang ke jutaan kalinya, gue ngasih tau ke lo. Jangan teriak-teriak, bisa pecah, nih, gendang telinga gue." Bayu menggerutu

"Bodo amat, gak peduli gue sama lo." Qila berjalan santai melewati ruang keluarga yang hanya ada Bayu disana.

Bayu Gatra Suardi, pria dengan hidung bangir, alis tebal, juga kumis tipis itu merupakan kakak kandung dari Qila. Saat ini, Bayu sedang menjalani hari-harinya di kantor perusahan milik Ayah mereka, karena dirinya anak pertama jadi mau tak mau dia yang mengambil alih jabatan CEO di Suardi Group.

Sampai di dapur, Qila bergerak mengambil tempat buah dan langsung menyusun buah-buahan yang sudah ia beli tadi. Saat tengah menyusun, ia baru teringat kalau tadi Dava yang membayar semua itu. Niat Qila mengetuk jendela mobil Dava tadi sebenarnya bukan untuk meminta tumpangan, tapi, ia hanya mau berterimakasih atas itu. Namun, karena Dava yang langsung menyuruhnya masuk membuat pikirannya buyar, dan melupakan niat awalnya.

"Besok aja, deh, terimakasihnya."

°°°°----°°°°

Dokter CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang