DC-9

82 9 2
                                    

Saat ini, Dava sedang duduk sendiri di taman rumah sakit. Tidak ada satupun orang yang ada disana, karena terik matahari masih terasa membakar di kulit, tapi, Dava tidak mempedulikan itu. Ia merasa tenang disini, setelah tadi ia ikut mengantar jasad gadis kecil berumur enam tahun itu ke rumahnya, Dava pamit untuk kembali ke rumah sakit dan berakhir di sini.

Gagal dalam hal menjalankan operasi sudah tidak asing, ini bukan pertama kalinya ia gagal, tapi ini yang pertama kalinya ia merasa dadanya sangat sesak dan sangat merasa bersalah karena tidak membuat operasi itu berhasil. Dada Dava kembali sesak, dengan air matanya yang kembali jatuh membasahi pipinya, saat ia mengingat pancaran penuh harap dari kedua mata indah Caca saat menatapnya tadi, dan keinginan-keinginan Caca.

Gadis kecil itu, seakan menaruh harap yang besar kepadanya. Berharap, bahwa Dava bisa membantunya untuk sembuh, dan tumbuh menjadi gadis sehat agar bisa menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter. Tapi, semua itu hancur. Harapan. Nyawa. Cita-cita. Semua mati, karena tangan Dava. Karena dirinya.

Punggung Dava bergetar, menandakan kalau pria itu sedang menangis dalam diam. Hal itu disaksikan oleh seorang gadis cantik yang berdiri di belakang Dava, niatnya ingin menemui Dava ia urungkan. Ia memilih untuk berbalik, dan menunggu Dava di ruangannya.

Dava yang tadinya menutup wajah dengan telapak tangannya, kini mendongak menatap langit berwarna biru, tanpa awan sedikitpun, membuat mata Dava menyipit karena silau dari sinar matahari.

"Ca ... maafin dokter, ya? Tadi dokter sudah berusaha untuk Caca, jadi Caca jangan marah apalagi benci sama dokter, ya?" Dava berdialog seakan di langit luas itu ada Caca yang sedang menatapnya.

"Dokter sayang sama Caca, tapi, Tuhan ternyata lebih sayang sama Caca, dan Tuhan mau dialah yang menyembuhkan Caca. Sekarang, Caca gak ngerasain sakit lagi, kan?" Dava tersenyum getir

"Tenang disana, anak baik." Itu kalimat terakhir yang diucapkan oleh Dava, setelahnya ia menghapus sisa air matanya, dan merapikan kemejanya. Kemudian, ia berjalan meninggalkan taman menuju ruangannya.

Niat Dava yang ingin membuka pintu ruangannya, ia urungkan mendengar Aldi memanggilnya. Dava menoleh. "Iya?" jawab Dava seadanya

"Operasi selanjutnya lima belas menit lagi, dok. Apa dokter Dava sanggup?" tanya Aldi. Sebenarnya ia sangat tidak enak, bertanya seperti itu. Tapi, ia hanya mau memastikan, karena jika Dava tak sanggup dirinya bisa langsung mencari dan meminta tolong kepada dokter yang tidak memiliki jadwal persis dengan jadwal mereka.

"Kamu, meremehkan saya?"

Pertanyaan Dava, sontak membuat Aldi terkejut dan semakin merasa tidak enak. Tidak! Dirinya tidak punya maksud ke arah sana.

"Tidak, dok. Saya tidak punya maksud seperti itu," ungkap Aldi

Dava terkekeh geli memandangi wajah Aldi yang berubah pucat dengan sendirinya. "Apaan, sih! Santai aja kali, gue cuma bercanda," ucap Dava dengan suara pelan, karena mereka masih berada di dalam rumah sakit.

Mendengar itu, membuat Aldi menghembuskan napasnya lega. Bukannya ia takut dengan Dava, ia hanya tak mau jika Dava salah faham padanya, lalu, meninggalkannya. Jujur saja, Aldi sudah merasa sangat nyaman menjadi asisten dari pria tampan itu. Karena pria itu, sangat baik, walau sifat nyebelinnya terselip, tapi itu tidak membuat Aldi merasa terusik.

"Maaf, tadi itu say—" Ucapan Aldi dipotong oleh Dava.

"Iya, saya paham maksud kamu." Dava melanjutkan ucapannya. "Saya bisa. Kegagalan yang tadi harus saya ganti, walaupun dengan orang yang berbeda."

Aldi menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. "Baik, dok," ucapnya yang kemudian kembali masuk ke dalam ruangannya.

Begitu juga dengan Dava, ia membalikkan badannya dan membuka pintu ruangannya. Saat pintu ruangan terbuka, tatapan Dava berubah menjadi tajam, memandangi seseorang yang dengan santainya duduk di kursinya sembari memakan permen tusuk berwarna pink, dengan kedua kaki yang ia silangkan di atas meja kerja Dava.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Dava ketus

"Pengen aja," jawab Alika santai

Dava menghela napas kasar, berjalan melewati Alika untuk memakai pakaian hijaunya, mengingat sebentar lagi ia akan menjalankan operasi terakhir di jam kerjanya hari ini.

Alika hanya diam memandangi Dava yang sibuk dengan dunianya. Sebenarnya, Alika sangat ingin mempertanyakan alasan Dava menangis di taman. Tapi, ia urungkan karena Dava akan melakukan operasi, jangan sampai pertanyaannya membuat konsentrasi Dava terganggu saat di ruang operasi nanti.

"Pulang sana! Ini rumah sakit, bukan taman kanak-kanak," titah Dava

Emosi Alika tiba-tiba tersentil, karena pria berumur dua puluh sembilan tahun itu menyindirnya dengan halus. Sampai saat ini, Dava memang tidak mau mengakui sebuah fakta kalau Alika sudah dewasa, selalu saja pria itu mengatai Alika masih bocah, dan cocoknya sekolah di TK bukan di kampus ternama yang ada di Jakarta.

"Gue juga gak bilang, kalau ini taman kanak-kanak!"

"Tapi, dengan kehadiran lo disini itu, seakan lo nganggep rumah sakit sebagai tempat bermain." Dava menahan tawanya saat melihat Alika yang mulai emosi.

Alika berdecak. "Niat gue ke sini, mau ngademin hati. Ternyata gue ke tempat yang salah, bukannya hati gue adem, malah sakit hati," ujarnya

"Kenapa lagi hati, lo?"

"Habis kebakaran."

Dava mengerutkan keningnya. "Emang bisa?"

Pertanyaan polos itu membuat Alika memutar bola matanya. "Kalau gue yang punya, nih, rumah sakit. Lo, udah gue pecat dari jauh-jauh hari," ujar Alika. "Ngakunya aja dokter, kayak gitu aja pake ditanyain," ucapnya lanjut

"Gak ada yang salah sama orang yang nanya," protes Dava

"Itu cuma ibarat, bego!" Alika melempar pulpen yang berada di atas meja ke arah Dava.

"Dasar, dokter gadungan," sindir Alika

Dava melotot, jelas tidak terima dirinya dikatai dokter gadungan. "Sembarangan banget kalau ngomong," ucapnya

"Lah, gue ngomong sesuai fakta!"

"Mana ada, jelas-jelas gue kemaren dapat sertifikat penghargaan sebagai dokter spesialis bedah terbaik di rumah sakit ini."

Alika berdecih. "Paling, itu sertifikat boongan," ucapnya

Dava semakin geram mendengarnya. Padahal niat awalnya tadi, ia ingin membuat sepupunya itu kesal agar bisa pergi dari ruangannya. Tapi, ternyata Alika membalikkan keadaan, saat ini yang tengah merasa kesal adalah dirinya.

"Mending lo keluar dari ruangan gue!" titah Dava

"Gue gak mau! Lagian, gue gak bikin ruangan lo hancur, jangankan hancur berantakan aja enggak." Alika masih berada pada posisi ternyamannya.

"Lo mau gue seret, atau tendang?"

Mendengar nada serius Dava, membuat Alika membenarkan posisi duduknya. Ia yang sedari tadi tidak menatap Dava karena malas, kini dengan ragu menoleh. Alika semakin dibuat panas dingin, saat kedua matanya bertemu dengan tatapan tajam Dava.

"KABURRRR ...." Alika berlari sekencang-kencangnya dari ruangan Dava.

"Bocah sinting."




°°°°----°°°°

Dokter CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang