"Ampun, dok! Ampun."
"Gak ada ampun-ampun." Dava tidak mengindahkan ucapan Qila, dirinya tetap menarik kerah baju bagian belakang Qila membuat gadis itu berjalan mundur dibelakangnya.
Perbuatan Dava yang menarik Qila bak mengangkat seekor anak kucing menuju pintu masuk rumah sakit, jelas menyita perhatian semua orang yang ada di sekitar mereka.
Begitu juga dengan Aldi, pria yang awalnya tenang di dalam ruangannya, terpaksa keluar saat mendengar ada kekacauan bermula dari depan ruangannya. Saat ia keluar, ia sangat terkejut melihat perbuatan Dava yang sudah diluar nalar.
Sampainya di depan rumah sakit, Dava melepas cengkeramannya pada kerah baju Qila setelah ia menarik gadis itu berdiri dihadapannya.
"Pergi, dan jangan pernah ke sini lagi!" titah Dava ketus
"Masa gak boleh kesini? Kalau saya sakit gimana?"
"Masih banyak rumah sakit lain."
"Kalau saya sudah sekarat gimana? Toh, ini rumah sakit yang paling dekat dari rumah saya, dok."
"Bodo amat! Mau kamu sekarat, atau nyawa kamu sisa sedetik, saya gak peduli. Intinya, jangan ke rumah sakit ini untuk mempertahankan nyawa kamu!" Setelah berucap demikian, Dava membalikkan badannya untuk kembali ke ruangannya.
Namun, niatnya dihalangi oleh Qila yang dengan gerakan cepat berdiri di hadapannya sembari merentangkan tangan.
"Minggir!" kata Dava
Qila menggelengkan kepala. "Saya gak bakalan pergi, sebelum dokter ganteng bilang maaf ke saya."
"Saya? Bilang maaf ke kamu? Apa gak kebalik?"
"Jelas enggak, dong."
"Heh! Kamu yang punya salah sama saya, karena sudah permainkan saya kayak tadi. Jadi, yang harusnya minta maaf itu, ya, kamu."
Qila menggelengkan kepalanya. "Hukumnya udah berubah, setelah dokter narik saya kayak tadi di depan banyak orang."
"Itu balasan. Saya juga gak bakal kayak gitu ke orang kalau dia baik ke saya, gak kayak kamu."
"Loh? Kurang baik apa lagi diri ini kepada kakanda?"
Dava mengepal kuat telapak tangannya, agar emosinya dapat tertahan. Mungkin kalau di hadapannya ini adalah Alika, sudah ia pastikan kalau telinga dari gadis itu merah karenanya yang melampiaskan emosi di sana. Tapi, ini Qila, anak gadis orang lain yang tidak ia kenal. Sangat tidak mungkin, kalau dirinya melakukan hal seperti itu.
"Udah, ya, udah! Saya mau masuk, karena sebentar lagi saya ada jadwal operasi. Jadi, saya minta tolong sama kamu, lupakan hari ini, dan hari sebelumnya. Lupakan saya, anggap kita tidak pernah ketemu sebelumnya, dan tolong jangan ke rumah sakit kalau tidak ada hal yang penting!" Dava melanjutkan niatnya untuk kembali ke ruangannya.
Qila mengepal kuat kedua tangannya, setelah ditinggalkan oleh Dava. "Enggak, lo gak boleh kalah, Qil. Lo, pasti bisa taklukin pria itu."
Sementara di dalam, semua mata menuju pada Dava yang sudah masuk kembali dengan wajah yang memerah, menandakan pria itu sedang menahan emosinya. Mereka semua sedikit bergidik, karena baru kali ini melihat wajah pria itu tanpa senyuman sedikit pun. Karena takut menjadi santapan Dava, mereka akhirnya memilih untuk kembali pada aktivitas masing-masing.
Dava yang sudah duduk di kursinya, mengusap wajahnya kasar. Gadis itu benar-benar membuatnya sangat kesal, padahal sebentar lagi ia ada operasi. Tapi, emosinya masih belum bisa teratur dengan baik. Ia memejamkan matanya, berharap dengan cara itu emosinya mereda dengan perlahan.
"Minum dulu, dokter!"
Dava membuka matanya dan mengikuti arah uluran tangan itu, sampai kedua matanya menangkap seorang gadis dengan menggunakan jas putih berdiri di depan mejanya, yang entah sejak kapan gadis itu masuk ke dalam ruangannya.
"Makasih, dok," ucap Dava sembari membuka tutup botol dari air gelas yang diberikan oleh Rara.
Rara yang duduk dihadapan Dava menganggukkan kepalanya sebagai balasan.
"Dokter Rara, bukannya masuk pagi ya?" tanya Dava
"Iya, dok. Saya hari ini sift pagi."
"Kok, masih ada di rumah sakit?"
"Tadi jadwal terakhir saya jam lima, terus baru selesai pas jam enam. Nah, pas saya mau pulang, eh ... saya ngelihat dokter Dava yang lagi nyeret orang," jelas Rara dibarengi kekehan
Dava menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia baru sadar atas perbuatannya, dan ia merasa malu sendiri karena menjadi bahan tontonan orang-orang di rumah sakit.
"Dia siapa, dok? Sepupunya dokter Dava? Atau keponakan?" tanya Rara
"Bukan siapa-siapa. Saya sebenarnya gak kenal sama dia," jawab Dava
"Gak kenal, kok, bisa dekat gitu kayak tadi."
Mungkin, kalau yang menjadi lawan bicara Rara adalah pria yang sudah mengenal jauh tentang cinta, tentang kode-kode receh dari seorang wanita. Ia pasti dapat menangkap makna dari kalimat yang diucapkan Rara, dengan intonasi yang menandakan ia sedang cemburu.
Tapi, ini Dava. Pria yang sudah hidup selama dua puluh sembilan tahun, namun tidak pernah mengenal cinta. Tidak pernah dekat dengan seseorang, melainkan hanya sebatas teman. Jadi, ia tidak dapat menangkap kode-kode seperti itu.
"Dekat apanya. Orang tadi saya nyeret, masa gitu di bilang dekat?"
"Ya ... menurut saya lumayan dekat, sih." Rara kembali bertanya, "Kok dia bisa kenal sama dokter Dava? Terus, kayaknya udah berapa kali, ya, kesini?"
Dava mengangkat bahunya. Ia menjadi malas untuk membahas Qila, karena emosinya sudah mengalir dan ia tidak mau pembahasan itu membekukan emosinya kembali.
"Maaf, ya, dok. Saya malas bahas dia."
Rara mengangguk paham. "Tapi, dokter gak suka kan sama dia?"
"Saya suka sama dia?" Dava tertawa, "Enggak mungkin, mana mau saya sama bocah ingusan. Terus, tipe saya bukan seperti dia."
"Oya? Terus tipe dokter Dava seperti apa? Atau seperti siapa?"
Dava nampak berpikir. "Seperti dokter Rara," jawabnya
Mendengar itu membuat kedua mata Rara melebar dengan senyuman yang mengembang. "Ka-kayak saya, dok?"
Dava mengangguk. "Iya, kayak dokter. Baik, ramah, anggun, dewasa, pekerja keras."
"Jadi ... dokter Dava suka sama saya?"
"Uhhuuukk, uhhuuukk!" Pertanyaan Rara membuat Dava yang tengah minum, tersedak.
Hal itu, membuat Dava membandingkan lagi posisi sekarang dengan sepupunya yang tidak bersalah. Andai yang membuatnya tersedak itu Alika, ia pasti akan melempar botol air yang masih berisi setengah itu ke wajahnya. Tapi, ini Rara, jelas ia tidak dapat melakukannya. Walau kesal, ia harus tetap ramah.
"Dokter gak papa?" tanya Rara khawatir
Dava menganggukkan kepalanya. "Iya, gak papa."
"Jadi, gimana dok?"
"Gimana apanya?"
"Itu, jawaban dari pertanyaan saya."
"Pertanyaan yang mana?" Dava sengaja untuk membuat Rara jengah
Alih-alih merasa jengah, Rara justru mengulang pertanyaannya. "Dokter Dava, suka sama saya?"
"Iya, saya suka sama dokter Rara."
°°°°----°°°°

KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Cinta
Teen FictionMenjadi seorang dokter spesialis bedah, jelas menjadi keinginan Dava. Tapi, bertemu dengan pasien aneh, dan super nyebelin jelas tidak masuk dalam daftar keinginannya. Namun, sepertinya Tuhan sedang menguji kesabaran Dava. Setelah kejadian, dimana d...