DC-16

79 4 0
                                    

Aldi yang baru keluar dari ruangannya, dibuat heran dengan Rara yang kebetulan keluar dari ruangan Dava dengan raut wajah yang sangat bahagia. Otaknya bertanya-tanya. Ada apa?

Tapi, kemudian ia mengangkat bahunya, acuh. Menurutnya itu bukanlah hal yang penting untuk dipikirkan, ia pun melanjutkan niatnya yang ingin menemui Dava, untuk memanggilnya ke ruang operasi.

"Siap, Pak dokter?"

Dava yang sedang membenarkan pakaiannya, mendongak. Lalu, ia menganggukkan kepalanya. "Siap," balas Dava

Mereka berdua pun berjalan bersama menuju ruang operasi, untuk menjalankan operasi pertama mereka.

Seperti biasa, Dava akan memeriksa terlebih dahulu semua perlengkapan. Lalu, mengajak semuanya untuk memanjatkan doa sesuai keyakinan masing-masing. Setelah itu, ia pun memulai kegiatannya.

Suasananya masih seperti suasana di hari-hari lain, tegang. Tepatnya, akan selalu tegang saat mereka sedang menjalankan operasi. Tidak ada suara musik dangdut, musik dj, ataupun shalawatan, hanya ada suara mesin detak jantung, dan suara alat yang ditaruh kembali ke sebuah nampan besi.

Kali ini, Dava berhasil. Tak lupa ia mengucap syukur, karena telah diberi kelancaran. Setelah itu, ia membersihkan dirinya. Kemudian, berjalan keluar dari ruang operasi diikuti oleh Aldi.

Mereka berdua berjalan untuk kembali ke ruangan masing-masing.

"Dokter belum sholat magrib, kan, tadi?" tanya Aldi

Dava pun tersentak. Ia baru ingat, kalau dirinya sudah melewatkan sholat magrib, dan sekarang sudah mau masuk waktu isya.

"Saya benar-benar lupa, Al," kata Dava

"Kayaknya setan-setan yang mengelilingi dokter sekarang udah bikin party. Mereka berhasil hasut dokter Dava, dari yang emosi sama orang sampai di seret, terus lupa sama sholat." Aldi menggelengkan kepalanya pelan

"Kamu juga, kenapa gak ngingetin saya dari tadi."

"Tadi, saya mau ngajak dokter buat sholat bareng. Tapi, saya gak sengaja lihat di dalam ruangan dokter ada dokter Rara. Jadi, saya pikir dokter bakal pergi sholat setelahnya."

Dava hanya menghela napas. "Ya sudah, sekarang kita siap-siap sholat isya," ujarnya. Aldi pun mengangguk setuju.

Kini, mereka berdua sudah masuk ke dalam ruangan masing-masing. Mereka membuka pakaian hijau itu, lalu kembali berjalan keluar dari ruangan. Seperti ada ikatan batin, setiap keluar pasti mereka selalu bersamaan.

"Ayok," ajak Dava

Mereka berdua pun berjalan bersama menuju mushollah yang tersedia di samping bangunan rumah sakit, dekat dengan ruangan apotek.

Keduanya berjalan menuju tempat wudhu. Mereka membuka sepatu, dan kaos kaki yang melindungi kaki mereka. Lalu, menaruhnya di depan tulisan Batas Suci. Kemudian, mereka berjalan di depan masing-masing keran air pilihan.

Setelah berwudhu, mereka mengambil sandal swallow yang memang disediakan untuk orang-orang yang ingin sholat, tapi mereka menggunakan sepatu saat ke tempat ini. Tapi, sandal itu harus dikembalikan lagi ke tempatnya setelah mereka selesai sholat.

Di dalam mushollah, keduanya melaksanakan sholat sunnah dahulu, lalu melaksanakan sholat wajib isya. Setelah selesai, mereka pun kembali berjalan untuk masuk ke rumah sakit.

"Mau makan dulu, dok?"

Dava menganggukkan kepalanya. "Boleh, deh. Mumpung masih ada waktu."

Mereka berbelok untuk menuju ke kantin, karena operasi kedua jam sembilan. Dava menggunakan sisa waktu yang ada untuk mengisi perutnya, agar nanti saat operasi, ia tidak kelaparan.

Seperti biasa, mereka masuk dan langsung mengambil makanan yang sudah disediakan. Kemudian, mengambil tempat yang kosong. Bukannya, mereka tidak mau bergaul dengan yang lainnya, tapi Dava maupun Aldi lebih suka berada di tempat yang dimana tidak terlalu banyak orang. Rasanya, kalau mereka makan di meja yang diisi banyak orang itu seperti membuat selera makan mereka hilang.

"Sepupu lo, kok, udah gak ikut lagi. Kenapa?"

"Katanya, rumah sakit itu ngebosenin."

Aldi tertawa. "Lo sama dia, kayaknya deket banget, ya?"

"Ya gitu, deh. Dia udah gue anggap seperti Adek kandung, walaupun ngeselin, sih."

"Awalnya, gue pikir dia itu pacar lo. Gue yakin, semua orang di rumah sakit yang ngelihat dia ngerangkul lengan lo waktu itu, pasti sepemikiran sama gue."

Dava mengangkat bahunya. "Mungkin, kalaupun mereka mikir kayak gitu, gak peduli gue."

"Oya! Lo sadar gak Dav, kalau sepupu lo itu agak mirip sama gadis yang lo seret tadi?"

Selera makan Dava tiba-tiba hilang karena mengingat wajah Qila, yang menurutnya sangat menyebalkan, dan bikin muak.

"Mirip apanya. Jelas Alika lebih cantik dari tuh cewek," protes Dava

"Gue gak bilang mukanya, tapi maksud gue, sikapnya." Aldi lanjut, "mungkin cuma gue aja, sih, yang ngerasa sikap mereka itu sama."

Dava hanya mendengus. Walaupun dalam hatinya membenarkan ucapan Aldi, tapi ia tidak menanggapi lagi. Rasanya sangat MALAS.

"Biasanya, ya, Dav. Cinta itu tumbuh dari perkelahian, kayak yang terjadi antara lo sama Qila-qila itu."

"Lo doain gue berjodoh sama tuh cewek aneh?"

"Enggak juga. Gue cuma ngomong sesuai fakta yang sering terjadi. Karena, gue juga dulu gitu. Awalnya, kita berdua tuh bertengkar mulu, gue yang gak suka banget sama dia, dan dia suka sama gue. Sampai gue nyuruh dia buat gak ganggu gue lagi, tapi ternyata itu bikin gue uring-uringan hampir sebulan."

"Terus?"

"Nah, terus. Pas sekitar sebulan kita gak pernah ketemu, gue ngeliat dia lagi jalan sama temennya di mall. Pulang dari mall, gue langsung ngelamar dia."

"Dia langsung terima lamaran lo?"

Aldi menggeleng. "Enggak, di hari itu dia nolak gue. Cara nolaknya, persis gimana gue nolak dia dulu."

"Disitu, gue baru tau gimana sakitnya pas jadi dia. Tapi, karena gue udah beneran sayang banget sama dia. Jadi, gue gak nyerah."

"Gue tetap ke rumah dia, buat ngebujuk dia. Akhirnya, hampir tiga Minggu itu, dia terima lamaran gue."

"Terus, di Minggu selanjutnya kita menikah."

Dava terkejut. "Jadi, lo sama dia cuma seminggu habis ngelamar langsung gelar acara pernikahan? Waaahh, ngebet banget lo buaya."

Aldi tertawa mendengarnya. "Bukan ngebet, tapi karena gue gak mau kalau dia pergi lagi dari gue. Untung tabungan gue udah banyak, jadi acaranya bisa dipercepat."

"Udah?"

Aldi mengangguk, "Udah."

"Quote pada pembahasan ini apa? Lo, kan, orangnya gitu. Kalau udah ngebahas sesuatu yang keliatan serius, pasti diakhiri kalimat mutiara."

"Ini, senangi sesuatu sewajarnya, dan benci sesuatu sewajarnya. Jangan berlebihan, karena yang berlebihan itu gak baik. Lo, harus ingat bahwa dunia itu berputar, jadi, ada kemungkinan apa yang lo gak suka dikemudian hari menjadi hal yang sangat lo suka. Begitupun sebaliknya, apa yang lo suka sekarang, bisa jadi dikemudian hari lo jadi gak suka."

"Hastag, Aldi Sang Pemberi Pencerahan," lanjut Aldi

Dokter CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang