DC-8

78 8 2
                                    

Operasi kali ini, membuat jantung Dava berdebar sangat kencang, keringat di pelipisnya tak kunjung usai, terus mengalir membuat Aldi merasakan keanehan, ditambah tangan Dava yang bergetar tak karuan.

Suasana di dalam ruang operasi itu, diselimuti ketegangan yang dibuat oleh Dava. Mereka semua menggelengkan kepala, untuk menepis pikiran yang tak layak di dalam sana.

Dada Dava naik turun menahan sesak, kedua matanya sudah merah dan berair. Hingga suara mesin detak jantung mengeluarkan suara nyaring, membuat mereka semua membeku.

Semuanya mengalihkan pandangan ke arah mesin itu, di sana sudah tergambar garis lurus, yang artinya pasien sudah tiada, dan artinya Dava gagal.

Tak sanggup lagi menopang tubuhnya, Dava terduduk di lantai dengan tangisannya yang sudah pecah menyelimuti ruang operasi.

Aldi mengusap lembut bahu Dava guna memberikan kekuatan untuk pria itu. "Dokter sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik," ucap Aldi

"Iya, dok. Dokter harus tetap semangat!" timpal salah satu suster bernama Nia.

Dava mengangguk, dan kemudian berusaha untuk bangkit. Lalu, ia berjalan mendekati pasiennya yang sudah tidak bernyawa. Dava semakin  mendekatkan wajahnya, dan mencium kening gadis kecil itu.

"Maafin, dokter ya! Dokter udah gagal wujudkan keinginan kamu," lirih Dava yang kembali menetaskan air matanya.

Pemandangan itu, membuat Aldi dan tiga suster memandangi Dava dengan tatapan penuh tanya. Karena, baru kali ini Dava mencium seorang pasien, yang ada di dalam pikiran mereka. Apakah bocah itu keluarga Dava?

"Maaf, dok. Dokter kenal sama anak ini?" tanya Aldi

Tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis kecil itu, Dava menggeleng. "Tidak, saya tidak kenal. Tapi, sebelum melakukan operasi tadi, saya dipanggil oleh pihak keluarganya, karena anak ini mau bertemu dengan saya sebelum dibius." Dava menceritakan kejadian sebelum operasi berjalan.

*Flashback on*
Saat ini, Dava sudah berada di dalam ruangannya, setelah tadi ia ke ruangan dokter Anwar. Dava memejamkan matanya, sembari memijat pelipisnya karena pening di kepalanya itu baru terasa.

Tok! Tok! Tok!

Dava membuka kedua matanya saat mendengar pintu ruangan diketuk tiga kali, sudah ia pastikan kalau itu bukan Aldi.

"Masuk!" teriak Dava dari dalam ruangan

Pintu terbuka, dan menampakkan sosok wanita paruh baya bersama seorang pria yang bisa dipastikan pria itu adalah suami dari wanita itu.

"Silahkan duduk, Pak, Bu!" kata Dava

Keduanya mengangguk, dan duduk di kursi yang berada di hadapan Dava.

"Ada apa, ya?" tanya Dava bingung

"Maaf, dok. Kami kesini, mau minta tolong kepada dokter Dava," kata wanita itu.

"Minta tolong apa, Bu?"

"Putri kami, yang nanti jadi pasien dokter meminta untuk bertemu sama dokter dulu sebelum dia di suntik bius."

Dava mengerutkan keningnya. "Ada apa memangnya, Bu?"

"Kita juga tidak tau, dok. Dia cuma minta tolong untuk dipertemukan dulu sama dokter yang akan menangani dia nanti."

Dava mengangguk-anggukan kepala. "Baik kalau begitu, antar saya untuk ketemu putri ibu dan bapak," pinta Dava

Kemudian, mereka bertiga keluar dari ruangan Dava dan berjalan beriringan menuju salah satu ruang rawat.

Saat masuk ke dalam ruangan itu, Dava sedikit terkejut, karena ia pikir anak dari ibu dan bapak itu seorang gadis dewasa, ternyata bukan.

"Caca, ini dokternya," ucap wanita itu.

Gadis kecil yang bernama Caca menatap ke arah Dava yang sudah berdiri di sebelahnya. Dava dapat merasakan pancaran kesedihan dan ketakutan dari kedua mata Caca.

"Nama dokter siapa?"

Dava tersenyum ramah. "Dava," jawabnya. "Nama kamu, Caca, ya?" tanya Dava balik

Caca mengangguk. "Iya, dok" jawabnya

"Katanya, Caca mau ketemu dokter? Ada apa, nih?"

Tidak menjawab. Caca mengalihkan pandangannya ke semua orang yang berada di dalam ruangan itu. "Caca mau ngomong berdua sama dokter Dava," ucapnya

Mereka semua saling lempar pandang penuh tanya, tapi, tetap menuruti kemauan Caca. Akhirnya mereka semua keluar dari ruangan, menyisakan Caca dan Dava.

"Ada apa, hm?" Dava mengusap lembut rambut Caca yang tidak terikat.

Caca menangis. "Dokter, tolong sembuhkan Caca, ya? Caca masih mau main sama mama, sama papa. Caca juga mau raih cita-cita Caca, jadi seorang dokter," ucap Caca penuh harap

Mendengar itu, membuat jantung Dava berdebar dengan perasaan aneh yang tiba-tiba menyerangnya. Dava terdiam, dan memikirkan ada apa dengannya. Bukan, debaran jatuh cinta, tapi, seperti debaran .... Dava tak sanggup jika harus mengatakannya.

"Insyaallah, dokter pasti berusaha. Biar, Caca bisa sembuh dan bisa jadi seorang dokter," ucap Dava. "Memangnya, Caca pengen jadi dokter apa?" tanya Dava

"Caca, mau jadi dokter yang bisa bantu ibu-ibu melahirkan, dok."

"Kenapa milih itu? Kenapa gak jadi dokter gigi aja, atau enggak ahli gizi."

Caca menggelengkan kepala. "Caca mau nolong mereka yang ingin melahirkan, dok. Karena dulu, Caca bisa keluar dari perut mama itu berkat pertolongan dari dokter yang bertugas seperti itu."

Jawaban Caca, membuat Dava terharu. Gadis kecil itu mempunyai impian yang sangat mulia, dalam hati Dava memanjatkan doa kepada Tuhan, agar operasi Caca nanti berjalan dengan lancar.

"Bantu Caca, untuk tetap hidup, dokter!"

*Flashback off*

Mendengar cerita Dava bersama gadis kecil bernama Caca itu, membuat Aldi dan para suster menangis terharu juga merasa kehilangan. Karena, bisa saja setelah besar nanti Caca akan mengabdi di rumah sakit ini, menggantikan mereka.

"Sus, tolong diurus, ya! Saya mau bertemu sama keluarganya," pinta Dava

Kemudian, Dava mengajak Aldi untuk keluar dari ruang operasi. Saat pintu terbuka, Dava tak sanggup menahan tangisnya kala melihat di depan sana ada keluarga Caca yang sedang menunggu gadis itu kembali di tengah-tengah mereka. Tapi, Dava tidak berhasil mewujudkan hal itu.

"Dok ...." Mama Caca memanggil Dava dengan suara bergetar.

Dava mendongak menatap wajah Mama Caca. "Maafkan saya, Bu," ucap Dava yang langsung memeluk erat tubuh Mama Caca.

Aldi dibuat terkejut juga bingung dengan tingkah Dava, karena baru kali ini pria itu bersikap melebih.

Dava melepaskan pelukannya. "Maaf, saya gagal menolong putri ibu," ucap Dava lagi

Semua langsung menangis dengan memanggil nama Caca, disana ada kedua orangtua Caca, Om, Tante, dan sepupunya.

Ayah Caca mendekat ke arah Dava, hal itu membuat Dava membeku di tempatnya. Dalam hati, ia sudah meyakinkan dirinya kalau apapun yang akan dilakukan Ayah Caca terhadapnya, ia harus terima tanpa membalas.

"Jangan menyalahkan diri, dok. Kami tau, di dalam tadi dokter sudah berusaha, mungkin ini memang sudah ajalnya Caca untuk kembali ke pelukan Tuhan," ujar Ayah Caca sembari menepuk pundak Dava.

Dava tercengang saat mendengar ucapan pria itu, ia pikir Ayah Caca akan memukulnya karena telah gagal menyelamatkan nyawa putri semata wayangnya. Tapi, itu semakin membuat Dava merasa bersalah. Andai waktu bisa diputar kembali, Dava akan menolak untuk menangani Caca, dan akan memanggil dokter yang paling ahli untuk meminta bantuannya terhadap Caca. Tapi sayang, itu hanya sebatas kata 'andai'.

"Sekali lagi, saya minta maaf, Pak!"

°°°°----°°°°

Dokter CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang