Setelah kepergian Qila, Dava dan Aldi langsung bersiap untuk menjalankan operasi pertama, dan disinilah mereka sekarang, di dalam ruang operasi bersama tiga orang suster, dengan memakai pakaian hijau seperti biasa.
Kini, Dava tengah fokus dengan tugasnya. Dengan lihai kedua tangan itu menjelajahi bagian tubuh manusia yang terbaring di hadapannya. Sorot matanya kembali memancarkan sebuah harapan. Hatinya tak henti memohon kelancaran kepada Tuhan.
Sekitar satu jam, Dava sudah selesai. Dirinya langsung menghela napas lega, dan mengucap kata syukur. Begitupun dengan para tim kerja Dava, mereka juga menghela napas lega dan mengucap kata syukur bersama.
Setelah itu, Dava dan Aldi pamit kepada tiga suster yang membantu mereka. Kemudian, mereka langsung mengambil langkah untuk keluar dari ruangan operasi menuju ruangan masing-masing.
Sampai di dalam ruangan, Dava membuka pakaian hijaunya, lalu, ia mendudukkan bokongnya di kursi kebesarannya. Di tariknya nafas dalam-dalam, lalu dikeluarkan secara perlahan, guna menghilangkan perasaan aneh yang menyelimutinya.
"Gak makan, dok?"
Dava menoleh ke arah pintu ruangan. "Mau," jawabnya yang kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Aldi.
Keduanya berjalan beriringan menuju kantin, untuk makan siang. Sampai di kantin, mereka mengambil makanan yang sudah disediakan, dan mengambil meja yang masih kosong.
"Operasi kedua jam berapa?" tanya Dava
"Jam dua, terus jam empatnya ada lagi," jawab Aldi
Dava mengangguk paham, kemudian mereka mulai menyantap makanan yang ada di hadapan mereka.
"Saya, boleh gabung?"
Keduanya menoleh dan mendongak, melihat seseorang yang meminta izin untuk ikut bergabung dengan mereka di meja itu.
Dava mengangguk. "Boleh, dok!" ucapnya
Dokter Rara tersenyum bahagia, dan langsung mendudukkan bokongnya di sebelah kiri Dava. Sementara Aldi hanya diam dan kembali fokus dengan makanannya.
Seperti yang sudah kalian tau sebelumnya, kalau dokter Rara ini adalah seorang dokter spesialis bedah juga, seperti Dava. Tapi, dia baru mengabdi pada rumah sakit itu selama kurang lebih satu tahun. Dokter Rara a.k.a Rara, memiliki paras yang terbilang cantik, karena memiliki pahatan hidung yang mungil dan mancung, juga bulu matanya yang lentik. Usia Rara sendiri, sekarang sudah dua puluh enam tahun, dan masalah status hubungannya sama seperti Dava, Rara juga masih menyandang status single.
Keakraban Rara dan Dava, dimulai dari awal Rara bekerja disini. Saat itu operasinya gagal, sama seperti kejadian malam waktu itu. Lalu, seorang suster pada saat itu menghubungi Dava, dengan alasan Dava satu-satunya dokter spesialis bedah yang jarak rumahnya dekat dengan rumah sakit. Akhirnya, setelah mengganti tugas Rara, Dava menanyakan dimana dokter Rara, saat seorang suster mengantarnya ke ruangan Rara, disitu Dava langsung mengajak Rara berkenalan dan memberikan semangat untuknya.
"Kita duluan, ya, dokter Rara!" kata Aldi
Rara hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum. Kemudian, Dava dan Aldi beranjak dari duduk mereka dan berjalan keluar dari kantin.
Saat dipertengahan jalan, bahu Dava ditahan oleh seorang dokter, bernama Anwar.
"Kenapa, dok?" tanya Dava bingung
Anwar menyipitkan kedua matanya sembari memandangi wajah Dava. "Dokter Dava, lagi gak enak badan?" Alih-alih menjawab, dokter Anwar bertanya balik.
"Enggak, dok. Saya sehat, kok," jawab Dava
"Tapi, muka dokter Dava pucat sekali."
Mendengar ucapan dokter Anwar, membuat Aldi dengan cepat memandangi wajah Dava, kedua matanya sedikit melebar saat melihat bibir Dava yang sangat pucat sekarang.
"Benar, dok. Sekarang muka dokter pucat sekali," ungkap Aldi
Kerutan di kening Dava semakin dalam, karena jujur dirinya tidak merasakan apapun. Ia tidak merasakan suhu tubuhnya yang tinggi, atau badannya yang lelah berlebihan. Tapi, kenapa wajahnya bisa pucat sekarang.
"Tapi, saya tidak merasakan gejala apapun, dok!" kata Dava
"Mending, dokter Dava ke ruangan saya dulu. Biar saya periksa, mari!" ajak dokter Anwar.
Dava mengangguk mengiyakan. Kemudian mereka bertiga, berjalan bersama menuju ruangan dokter Anwar.
Sampai di dalam ruangan Anwar, Dava dan Aldi duduk di kursi yang ada di hadapan Anwar, mereka berdua bak seorang pasien yang sedang memeriksakan diri.
"Maaf, ya, dok," kata Anwar saat dirinya ingin memeriksa detak jantung Dava.
Setelahnya, Anwar mengambil alat tensi darah, lalu, memasangnya di lengan Dava. Kemudian, ia kembali duduk dan tangannya bergerak mengambil spidol yang ada di atas mejanya, dan juga ia mengambil beberapa papan obat. Di sana, Anwar menulis 3x1 di setiap bungkusan obat. Kemudian, diberikan kepada Dava.
"Saya sakit apa, dok?" tanya Dava
"Dokter Dava hanya kekurangan darah, itu saya kasih obat penambah darah dan juga beberapa vitamin," jawab Anwar. "Saya mau bilang, dokter istirahat yang cukup dan tidur teratur, tapi jelas itu tidak bisa mengingat kita yang harus tetap berada di rumah sakit," ujar Anwar dibarengi kekehan.
Dava ikut tertawa renyah. "Benar, dok. Kesehatan dan nyawa pasien rasanya jauh lebih penting, dibanding kesehatan dan nyawa sendiri," ucapnya
Anwar mengiyakan. Memang benar, bagi seorang dokter, nyawa pasien jauh lebih penting dibanding nyawa mereka, bahkan mereka rela tetap terjaga di rumah sakit, walau badan mereka sudah mengatakan lelah dan meminta untuk istirahat, dan juga mereka rela meninggalkan keluarga tercinta di rumah, demi satu orang yang membutuhkan penanganan di rumah sakit.
Mari sayangi semua dokter yang ada di dunia ini, walau kalian tidak mengenalnya tetap kirimkan doa kepada mereka, agar selalu diberi kesehatan dan juga kelancaran dalam menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa pasiennya. Juga, janganlah selalu menyalahkan dokter apabila operasi pada kerabat kalian tidak berjalan sesuai keinginan.
Karena jujur tidak seorang dokter yang ingin bahkan dengan sengaja menggagalkan operasi mereka, dan betapa sakitnya yang mereka rasa, kalau sudah berjuang merelakan semuanya demi pasiennya, tapi saat gagal semua orang menyalahkan dirinya, bahkan memaki dengan ucapan yang tidak sepantasnya. Kita harus tetap sadar, itu semua sudah menjadi kehendak Tuhan, mereka hanya sebatas tangan kanan Tuhan, dan yang menentukan apakah orang itu sembuh atau harus kembali kepadanya jelas Tuhan.
Mulai sekarang, sayangi semua dokter, ya!
"Berapa ini, dok?" tanya Dava sembari mengeluarkan dompet dalam saku celananya.
"Gak usah dibayar, ini gratis buat dokter Dava," kata Anwar
"Gak boleh gitu, dong, dok. Disini saya sebagai pasien," tolak Dava
"Udah gak papa, itung-itung itu sebuah traktiran dari saya."
"Dalam rangka apa, nih?"
Anwar tersenyum. "Saya yang sebentar lagi jadi seorang Ayah," jawabnya
Kedua mata Dava dan Aldi melebar, juga senyuman bahagia tergambar di wajah mereka. Dava mengulurkan tangannya dan langsung dibalas oleh Anwar. "Wah, selamat atas kehamilan pertama istrinya, dok," kata Dava
Kemudian, Aldi juga melakukan hal yang sama. "Selamat, ya, dok," ucap Aldi
Anwar mengangguk. "Terimakasih, ya, dan jangan lupa doakan istri dan anak saya sehat sampai lahiran," pintanya
"Pasti, dok." Keduanya mengatakan hal yang sama.
"Doakan istri saya juga, dok. Semoga kandungannya cepat diisi," pinta Aldi
"Iya, pasti," kata Anwar. Kemudian ia menatap Dava yang terdiam di tempatnya. "Untuk dokter Dava, kita doakan semoga cepat bertemu dengan jodohnya, ya," ucapnya.
Dava tersenyum. "Aamiin, terimakasih dok," ucapnya.
°°°°----°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Cinta
Teen FictionMenjadi seorang dokter spesialis bedah, jelas menjadi keinginan Dava. Tapi, bertemu dengan pasien aneh, dan super nyebelin jelas tidak masuk dalam daftar keinginannya. Namun, sepertinya Tuhan sedang menguji kesabaran Dava. Setelah kejadian, dimana d...