Chapt 10 : Gosip Kampus

7 4 0
                                    

"Emang kamu maunya di bawa kemana?" bukannya menjawab, justru Raka bertanya balik kepada Kiya.

"Raka! Gue serius," Kiya menatap iris mata hitam Raka dengan tatapan mengintimidasi.
Raka menduduki ayunan yang berada di sebelah Kiya. "Pengen aja."

Kiya menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti, entah pertanyaannya yang salah atau memang otak Raka yang bermasalah dan tidak dapat serius menanggapi pertanyaan Kiya yang sebenarnya sangat mudah untuk dijawab. Raka tertawa setelah melihat raut wajah Kiya yang terlihat kesal.

Kiya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Lo sering kesini?" tanyanya.

"Lebih tepatnya, dulu." Raka memulai bercerita. "Sebelum Bunda pergi ninggalin orang yang menyayanginya. Panti ini milik Bunda, Bunda memulainya sebelum Aku dan Abangku lahir—"

Raka memandang Kiya yang sedang menatapnya serius, "Bunda suka banget sama anak kecil, apalagi saat tau banyak anak yang dibuang oleh orang tua nya, membuat Bunda memutuskan untuk merawat anak-anak terlantar itu." Raka tenggelam dalam kenangan masa lalu dia dan sang Bunda.

"Luvi. Bunda menemukannya di hutan belakang. Saat itu kondisinya lemah, dia baru dilahirkan, tubuhnya membiru—"

Kiya meringis saat mendengar Raka bercerita tentang Luvi. "Gue gak mau dengar bagian itu." Gumamnya pelan.

Raka terkekeh. "Saat Bunda mulai sakit-sakitan, Bunda memberikan hak Panti sepenuhnya kepada Bi Anah, adiknya. Sebelumnya sih Bi Anah memang suka membantu Bunda mengurus panti ini."

Kiya semakin tertarik dengan pembicaraan ini. Bukan pada pantinya, namun Bunda Raka yang belum Raka jelaskan tentang alasan Bunda Raka meninggalkannya. "Bunda lo, kenapa?"

"Bunda punya penyakit jantung, Ki," kini Raka menunduk, bayangan tentang Bundanya kembali mengusik hatinya. Raka menyadari, sekuat apapun dia melupakan, kenangan itu akan semakin mengikutinya. Raka mengibaskan tangannya didepan wajah. "Udah lah, aku jadi melow gini."

Kiya tersenyum tipis dengan sorot matanya yang sendu. "Balik, yuk!" ujarnya spontan dan dibalas anggukan oleh Raka.

***

Mobil sedan hitam milik Raka sudah berada di depan pagar tinggi di rumah Kiya. Kiya masih belum turun, karena mulutnya gatal ingin mengatakan sesuatu sebelum dia masuk ke dalam rumahnya.

"Makasih ya,"

"Untuk?"

"Udah kenalin gue ke anak-anak hebat! Gue sih gak akan keberatan kalau lo ajak gue lagi kesana."

Raka tesenyum ceria menanggapi Kiya yang sangat antusias dengan anak-anak dipanti, seperti Bundanya. Lagi, sosok Kiya mengingatkannya pada Bundanya yang sudah berbahagia di alam lain.

Kiya memandang Raka aneh. Dia tidak ingin membangunkan Raka dari lamunan yang entah sedang memikirkan apa. Kiya mulai membuka pintu mobil dan hendak keluar, tapi Raka refleks menahan tangannya saat lamunannya buyar.

Raka menatap Kiya yang berada disebelahnya, sebelah alisnya terangkat. "Gak mau cium dulu, gitu?" tanyanya sambil menyeringai.

"Gak ada!" Kiya memukul kepala Raka dengan tas yang depegangnnya.

Raka meringis sebelum akhirnya Kiya memilih untuk keluar dari dalam mobil dan membanting pintu mobil dengan kencang, membuat Raka mengelus pelan dadanya.

Dekat Tak TergenggamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang