Chapt 6 : Hari terakhir

31 4 1
                                    




Kiya mengusap dahinya yang mulai berkeringat. Bukan karena lelah, namun sinar matahari kali ini seakan membakar permukaan kulit wajah dan tubuhnya yang putih.

"Capek, ya?" Ujar Raka yang berada disebelah Kiya.

"Gak!"

Tanjakan yang lumayan tinggi membuat Kiya berulang kali terperosot kebawah, sedangkan teman kelompoknya yang lain sudah berjalan terlebih dahulu. Raka dengan siaga mengulurkan tangan kanannya ke arah Kiya, namun Kiya masih berusaha keras untuk mendakinya sendiri.

"Ayo, kita udah ketinggalan jauh loh!"

"Ya udah, sana lo pergi! Tinggalin gue aja!" tegas Kiya.

Raka mengusap rambutnya ke belakang. Tangan kanannya terulur lagi, dia tidak akan melakukan apa yang Kiya perintahkan.

Hati dan pikiran Kiya seakan beradu, dia ingin menerima uluran tangan itu jika saja itu bukan tangan Raka. Kiya tidak tau kesalahan apa yang dibuat oleh Raka, hingga membuatnya sangat muak seperti ini. Kiya menatap Raka yang sedang tersenyum penuh arti kearahnya, lalu tangannya terangkat menanggapi uluran tangan Raka. Kedua bola mata mereka bertemu. Mereka masih terdiam dalam kesunyian, hingga akhirnya Raka menggenggam tangan Kiya dan menarik tangan cewek itu hingga Kiya terkejut lalu melangkahkan kakinya untuk sampai keatas.

Saat kaki Kiya sudah sedikit lagi sampai, tiba-tiba ada ranting pohon didepannya, membuat kaki Kiya tersandung. Raka yang masih menggenggam tangan Kiya langsung menangkap tubuh mungil Kiya yang hampir terjatuh ke bawah. Raka memeluk tubuh Kiya, membuat Kiya terlonjak kaget.

Kiya mendorong tubuh Raka agar menjauh. "Modus mulu lo!"

"sama-sama!" sahut Raka.

Kiya terkekeh. "Makasih!"

Raka tersenyum tipis. Kiya mengalihkan pandangannya dari mata Raka yang menatapnya dalam. "Udah yuk lanjut!" Raka menarik tangan Kiya lalu menggenggamnya dan mengajaknya berjalan. Kiya hanya melongo, tidak berusaha melepaskan genggaman diantara mereka.

***

Tepat siang ini, anggota Mapala sampai di puncak Gunung Slamet. Kiya dan teman-temannya yang lain menghembuskan nafas lega sekaligus kagum pada keindahan alam yang tertangkap pada pandangan. Kiya memang sudah terbiasa melihat pemandangan didepannya, namun kali ini seakan berbeda baginya, ada warna baru yang muncul dipendakian kali ini, rasa kesal nya pada cowok yang kini sedang berkumpul dengan anggota Mapala cowok. Tidak sadar sudut bibir Kiya terangkat, dia tersenyum pada cowok pengganggu itu.

"Gue seneng banget deh, Ki," ujar Riri sambil mengarahkan kamera depan kearahnya dan Kiya. "Akhirnya cita-cita gue kesampaian juga, ya."

"Apalagi gue, Ri, bahagia banget malah!"

Riri cekikikan. "Ya iyalah ada someone special!"

Kiya menggeleng. "Bukan!" sahutnya cepat. "Karena ada lo, lah! peak!" Kiya memiting leher Riri.

Riri menyenggol bahu Kia, dia senang jika menggoda Kiya hingga membuat pipi Kiya bersemu merah. "Jangan munafik Kiya sayang!"

Kiya mulai jengkel, malas meladeni Riri yang selalu menggodainya. Dari pada Kiya harus diam bersama Riri yang masih menggodanya, Kiya memutuskan untuk berjalan dan meninggalkan Riri yang belum berhenti usil.

"Tuh kan malu nih yeee," Riri berteriak pada Kiya yang mulai menjauh dari pandangannya, "Cinta kok gengsi, sih!"

Gara-gara perkataan Riri yang baru saja keluar dari mulutnya, membuat puluhan pasang mata memandang Kiya dengan tatapan menyelidik. Kiya tidak suka menjadi pusat perhatian orang lain. Dalam hatinya bersyukur karena Raka tidak mendengar bahkan menyadari perkataan Riri dari tadi. Sambil berjalan, Kiya mengelus dadanya dan menggelengkan kepala melihat tingkah laku sahabatnya.

Dekat Tak TergenggamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang