Sebelum pergi dari rumah, seharusnya aku lebih mempersiapkan diri dengan membawa uang yang lebih banyak. Dua ATM-ku diblokir dan kartu kredit juga, aku yakin Papa yang melakukannya.
Kalau saja kartu-kartu ini masih bisa digunakan, aku tidak akan pusing memikirkan hidupku di Medan untuk waktu enam bulan bahkan satu tahun ke depan.
Papa selalu bertindak cepat untuk anaknya, termasuk cepat membuat anak semata wayangnya ini harus berhemat di sini. Atau ini cara yang dilakukan Papa agar aku pulang.
Aku menyimpan ATM dan kartu kredit di bagian paling dalam koper, tidak ada gunanya tetap menyelipkannya di dalam dompet.
"Fanya," panggil Ibu kos setengah berteriak, disusul ketukan pintu yang cukup keras.
Aku membuka pintu dan langsung disambut senyuman lebar. "Ada apa, Bu?" Pandanganku jatuh pada paper bag di tangan kanan Ibu kos.
"Titipan." Ibu kos menyerahkan paper bag itu.
"Dari siapa?" tanyaku sambil menerimanya dengan kedua tangan.
Tanganku menggenggam kuat tali paper bag ketika Steven Wijaya muncul dalam benakku.
"Orangnya tinggi, pakai kacamata atau lensa kontak?" Aku tidak sabar untuk tidak bertanya, Ibu kos tampak mengingat-ingat.
Ibu kos bertepuk tangan sekali. "Iya, kayaknya dia pakai lensa kontak abu-abu. Rambutnya panjang. Tadi malam dia datang, jam sebelas."
"Rambutnya panjang?" Sebelah alisku terangkat.
"Ibu baru ingat." Sekali lagi Ibu kos bertepuk tangan. "Cindy."
Mendengar nama itu barulah aku bisa mengembuskan napas lega yang tanpa sadar aku tahan. Tidak mungkin Steven tahu kalau aku kembali ke Medan.
Aku hampir saja menertawakan diriku sendiri karena telah mengharapkan Steven yang memberikan paper bag ini.
***
"Kau benar-benar nggak tau kabar Steven?" tanyaku kesekian kalinya.
Jun mengangkat bahu acuh tak acuh, pandangannya tetap lurus ke depan. Dari balik kemudi, dia tidak membuka mulutnya sedikit pun sejak aku terus menanyakan Steven.
"Jun Nakata!"
Kali ini Jun menoleh, namun hanya sekilas. "Nggak tau dan nggak mau tau," ketusnya. Jun menghela napas panjang. "Memang terserah kalian mau kayak mana, aku cuma nggak mau kau nangis lagi gara-gara Steven."
Aku menundukkan kepala. Jika aku dan Steven bersama lagi ada satu orang yang akan mati-matian menentangnya, mamanya Steven. Sampai sekarang aku tidak tahu kenapa Tante Liana melarang hubungan kami.
"Untuk apa saling mencintai kalo pada kenyataannya kalian cuma menyakiti satu sama lain."
Aku menatap Jun sinis, tapi dia tidak memedulikannya dan balik menatapku datar. Tidak ada yang bersuara lagi sampai kami tiba di kontrakan Jun di daerah Setiabudi.
Aku mengekor di belakangnya masuk ke dalam rumah, Jun langsung meneruskan langkah ke dapur dan kembali ke ruang tamu dengan dua kaleng cola.
Setelah lulus kuliah, Jun lebih memilih tinggal sendiri daripada bersama orangtuanya. Dalam keluarga besar, hanya aku yang tahu alasan sebenarnya Jun melakukan itu.
"Kita bahas kelangsungan hidupmu." Jun mengalihkan topik pembicaraan. Dia meletakkan satu kaleng di meja, mendorongnya menjauh darinya. Dia menyandarkan punggung di sofa seberang, matanya menatapku lurus-lurus.
"Aku masih bisa hidup tanpa bantuan keuangan dari Papa untuk satu bulan ke depan."
"Cuma itu aja? Terus bayar uang kos, makan dan lain-lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Double S
RomanceSetelah empat tahun berpisah, aku tidak bisa melupakan Steven dan rasa cintaku padanya membawaku kembali ke kota ini lagi dengan harapan bisa bersamanya lagi. Aku mengira cintaku pada Steven tidak akan pernah berubah. Tapi pada akhirnya aku tersadar...