"Kamu harus pulang!" Wajah Papa sangat menyeramkan tertampang di layar komputer. Aku ingin melepaskan headset tapi tidak jadi, aku terlalu takut. Dari webcam saja Papa seperti itu apalagi berhadapan langsung.
Aku mengulas senyum. "Pa, kasih Fanya waktu sedikit lagi. Udah seminggu lebih Steven belum ketemu," kataku dengan manja. Andaikan ini bukan komunikasi yang harus menampilkan wajah, aku sudah memutuskan sambungan dari tadi.
Papa memijat pelipisnya. "Dua hari yang lalu dia ke sini. Katanya dia udah pulang ke Medan. Untuk apa kamu cari calon suami temanmu?"
Astaga, pertanyaan Papa itu. Seharusnya memberi anaknya ini semangat, bukan membuat hati anaknya semakin tidak keruan.
"Di samping kananmu," seru Papa. Refleks aku menoleh dan mendapati bos mencondongkan tubuhnya ke arah monitor, menyapa Papa dengan melambaikan sebelah tangannya.
"Kasih headset ke Steven Lee," perintah Papa.
"Bagaimana bisa masuk? Pintu depan di kunci." Aku bertanya pada dua orang sekaligus.
Bunyi nyaring kunci yang saling berbenturan di sampingku membuatku terpaksa menoleh. Bos mengacungkan kunci tepat di depan wajahku dengan senyumnya yang sekarang ini membuatku lupa caranya bernapas selama beberapa detik.
"Kamu kan Papa titipkan sama dia, jadi apa yang terjadi sama kamu tanggung jawab dia. Dalam waktu 24 jam kamu di bawah pengawasan dia. Kunci rumah Papa kasih dia. Sekarang kasih headset-nya ke Steven Lee, cepat!"
Aku bangkit dan meletakkan headset di atas keyboard. Bos menduduki kursi yang aku duduki tadi dan mulai mengobrol dengan Papa. Ekspresi wajah Papa benar-benar berubah saat berbicara dengan bos. Papa tertawa dan tersenyum lebar, padahal waktu mengobrol denganku Papa seperti siap menerkamku.
Aku berjalan mundur ke arah pintu sambil terus memerhatikan Papa dan bos. Aku langsung berlari ke arah komputer ketika ponselku berdering di sebelah monitor. Aku ragu saat akan menggeser ikon warna hijau. Nomor yang tidak aku kenal. Aku membiarkannya sampai ponselku berhenti berdering.
"Kau akan diam saja seperti itu sampai kapan? Memanganya berdiam diri bisa menemukan Steven begitu saja?" celetuk bos sambil mematikan komputer. "Teman-temanmu yang lain sudah menyerah, kau juga. Aku harap."
"Aku tidak akan pulang sebelum dia ketemu. Aku akan mencarinya sendiri," kataku tanpa pikir panjang langsung mengambil kunci mobil dan turun ke lantai bawah. Sejak pagi tidak melihat bagaimana keadaan di luar, aku baru sadar sekarang langit sudah gelap oleh awan mendung. Siap meniupkan angin kencang dan menumpahkan air hujan.
"Shiafanya." Bos menahan bahuku, memaksaku berbalik. "Kau tidak perlu membuang tenagamu."
Aku merasakan bulir air jatuh membasahi wajahku. Bulir itu semakin banyak sampai rambutku mulai basah.
"Kenapa bos ikut campur?" teriakku. Suara gemuruh hujan dan tiupan angin membuat suaraku terdengar seperti bisikan.
"Untuk apalagi? Lihat aku!" Bos meletakkan kedua tangannya di bahuku.
Aku tidak sanggup lagi berteriak. Rasa dingin menembus kulitku sampai ke tulang. Aku menepis tangan bos, tapi genggamamnya terlalu kuat.
"Shiafanya... lihat aku. Aku ada di sini. Bisakah kau melihatku, hanya aku." Bos mendekatkan wajahnya. Dengan sekuat tenaga aku melepaskan diri darinya. Belum sempat melangkah lebih jauh, bos mendekapku dari belakang. "Saranghae*," bisiknya tepat di telingaku. Aku terdiam di tempat. Satu kata itu bisa membuat keadaan berubah dan juga perasaanku.
***
38,9°C, suhu tubuh bos yang ditujukkan termometer digital. Aku bukan tipe orang yang pandai merawat orang sakit, jadi ketika aku mendapati bos meringkuk di sofa ruang tengah di rumahnya menjelang malam, aku langsung menelepon dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double S
RomanceSetelah empat tahun berpisah, aku tidak bisa melupakan Steven dan rasa cintaku padanya membawaku kembali ke kota ini lagi dengan harapan bisa bersamanya lagi. Aku mengira cintaku pada Steven tidak akan pernah berubah. Tapi pada akhirnya aku tersadar...