Bab Sebelas-Jebakan

5 2 0
                                    

Ternyata tidak punya ponsel itu menyusahkan, terlebih lagi kalau sudah biasa tergantung pada benda itu. Dengan bermodalkan lem superkuat, aku memasang kembali ponselku yang sudah beberapa hari tidak dapat digunakan sama sekali. Kalau ponselku tidak bisa aku perbaiki sendiri, sepertinya aku harus membawanya ke tempat service. Dan tentu saja harus mengeluarkan uang, hal itu yang sebenarnya aku hindari.

"Fanya... ada yang nyariin. Orangnya nunggu di bawah," ujar Ibu kos di depan pintuku yang tertutup.

"Siapa, Bu?" tanyaku sambil menutup lem. Ketika aku membuka pintu, Ibu kos sudah entah ke mana.

Dari bawah terdengar suara Ibu kos mengobrol dengan orang yang suaranya aku kenali, bos. Aku menghela napas panjang sebelum menuruni anak tangga. Di teras, bos duduk di kursi rotan dengan santainya melirikku sambil tersenyum lebar sampai lesung pipinya terlihat.

"Ibu kos mana?" Aku celingukan. Baru beberapa detik lalu suaranya terdengar dan sekarang orangnya entah ke mana.

"Baru saja masuk rumah."

Aku pura-pura sibuk melihat ke dalam rumah, ekor mataku mengawasi bos yang sekarang menyibukkan diri dengan ponselnya. Tiba-tiba aku teringat ponsel milikku yang aku tinggal begitu saja di kamar. Dengan perlahan aku mundur dan siap berlari ke kamar.

"Kita pergi sekarang."

"Maksudnya, bos?"

Dia memang bosku, tapi tidak seenaknya juga mengajak aku pergi.

"Aku mau mengajakmu pe ̶ "

"Tapi, sebentar lagi masuk kerja," kataku sopan.

Bos melirik jam di pergelangan kirinya. "Masih lama. Ini masih jam sebelas. Kau harus ikut."

"Ke mana, bos? Aku harus ke butik Cindy hari ini." Ide itu muncul begitu saja. Kalau ponselku sebagai alasan aku tidak ikut dengannya, bisa-bisa bos tidak percaya.

"Kita ke bioskop. Aku bingung mau nonton dengan siapa, dan sepertinya kau suka nonton."

Entah tahu dari mana dia. Aku saja tidak terlalu suka nonton di bioskop. Suasananya yang gelap dan dingin membuat aku mengantuk dalam hitungan kurang dari lima belas menit sejak duduk.

"Kau harus ikut denganku. Sekarang, cepat bersiap." Suaranya yang penuh otoritas membuatku menurut. Tidak ada pilihan lain. Fanny atau adik kos lainnya tidak ada yang bisa diajak karena sedang kuliah.

Aku kembali ke kamarku, membereskan ponsel dan meletakkannya di atas kasur. Pandanganku bertumbuk dengan bando. Aku mengambil benda itu dan buru-buru mengunci pintu, menuruni tangga seperti dikejar setan.

Aku baru sadar, bos tidak membawa Lexus-nya melainkan sedan putih milik Kak Citra dan memarkirkan mobil itu di depan gerbang kos. Yang membuat aku kagum, bos tidak kesulitan saat keluar dari gang. Berbeda dengan Papa yang perlu konsentrasi tinggi setelah itu mengomel panjang lebar.

"Kita ke butik Cindy dulu bisa, bos?" Sebenarnya maksudku ke butik Cindy ingin berlama-lama di sana sampai film yang bos ingin nonton selesai. Aku tidak perlu menemaninya, itu tanda aku menolaknya secara tidak langsung.

"Nanti kita bisa ketinggalan film. Shiafanya, kau masih memakainya, terima kasih."

Aku tahu benda yang dimaksud bos. Aku membalasnya dengan ucapan terima kasih. Entah perasaanku saja atau tidak, sekilas bos melirikku dengan tatapan kasihan itu lagi. Ketika aku lebih serius memerhatikan wajahnya, bos menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku.

"Kau terpesona?"

Aku tidak berminat menjawabnya. Aku menyandarkan kepalaku, menatap lurus ke depan, dan menjaga mulutku agar tidak mengeluarkan suara sampai ke tempat yang bos inginkan. Ketika bos memarkirkan mobil di pelataran parkir, cepat-cepat aku ingin keluar dan berniat melarikan diri, namun bos masih mengunci pintu.

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang