Bab Lima-Steven

16 5 0
                                    

Sistem Kebut Semalam, SKS. Aku tidak menyangka akan menggunakan cara ini lagi. Ini kedua kalinya aku membaca panduan yang dibuat Kak Citra. Semua pesan masuk dan pesan keluar hanya ada nama Kak Citra, sampai memori ponselku tidak cukup lagi. Maklum saja, ponsel seperti ini hanya cukup menampung paling banyak 46 pesan masuk dan 15 pesan keluar.

Jujur saja, aku sama sekali tidak tahu tentang makanan Korea. Dulu waktu kuliah, Mei pernah memberiku Kimchi yang dikirim temannya yang orang Korea, bernama Seo Jung Hwan. Tapi akhirnya Kimchi itu aku berikan pada teman-teman kos.

Berdasarkan panduan ini, menu utama restoran Kimchi Corner adalah Kimchi, sesuai nama restorannya. Bagaimana bisa aku menguasai menu yang bahkan aku tidak mau memakannya.

Setengah putus asa, aku melemparkan panduan ke atas kasur. Sudah seharian aku tidak keluar dari kamar, saat membuka pintu, matahari sore menyambutku.

Aku menyambar ponsel dan keluar, menaiki tangga curam menuju atap, lebih tepatnya tempat jemuran. Kawat penuh pakaian berderet, namun berantakan. Tempat favoritku dari dulu adalah ujung atap.

Tiba-tiba ponselku berdering, telepon dari Kak Citra dan ini yang kelima dalam satu hari ini.

"Kamu udah siap?" Ini pertanyaan yang sama kelima kalinya setiap aku menjawab teleponya. "Kakak pikir kamu udah siap karena kamu nggak SMS lagi."

"Udah nggak ada yang mau Fanya tanya lagi, Kak."

"Kamu udah siap kerja besok?"

Hampir saja ponselku terlepas dari genggaman saking kagetnya.

"Nanti Fanya kabari. Secepatnya."

"Oke, ditunggu. Secepatnya."

Sambungan terputus.

Lama aku menatap layar ponsel. Saat ini yang ingin aku dengar suaranya adalah suara Steven. Tapi aku tetap tidak boleh melanggar janji.

Aku menelepon Jun, nada dering ke dua dia mengangkatnya.

"Kenapa, Fan?"

"Kau sibuk?" tanyaku dengan suara pelan.

"Nggak, aku lagi santai di rumahnya Alex. Kenapa?" tanyanya sekali lagi. Aku mendengar jelas Jun menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Suaramu agak sedih. Kau kangen Steven, ya?" tebaknya.

"Kalau kau udah tau untuk apa nanya? "

"Udalah kau sama Ryousuke Dustan Oniisan* aja," sahutnya santai.

Yang dimaksud Jun adalah sepupu kami yang di Jepang, blasteran Inggris-Jepang. Tampan memang, matanya yang cokelat itu bisa membuat aku terpesona, tapi aku masih waras.

"Kalo nggak sama adikku aja, Ryo Nakata."

Aku tertawa hambar. "Jun, jangan gila."

Jun terbahak di ujung sana. Daripada entah ke mana pembicaraan ini lebih baik aku memutuskan sambungan.

Ponselku berdering lagi.

"Apalagi sih Jun? Aku jadi malas dengar suaramu. Sekarang aku cuma mau dengar suara Steven, oke," kataku dengan sekali tarikan napas. Diam di ujung sana, tadi aku tidak melihat layar sebelum mengangkatnya. Kalau ini Jun pasti dia sudah balik mengomeliku. "Halo?"

"Ini aku, Fan. Steven."

Nyaris jantungku melompat keluar. Aku mengenali suaranya dengan baik.

"Fanya..."

Aku membekap mulut dengan sebelah tangan yang bebas. Sudut-sudut mataku mulai basah. Tenggorokanku tercekat, aku tidak mampu bersuara.

"Fanya... ini aku Steven."

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang