"Fanya....." Suara Papa memanggil dari balik pintu kamar.
Masih terlalu pagi untuk bangun, aku menarik selimut sampai leher. Sudah dua hari ini aku bangun setelah matahari hampir tepat di atas kepala. Selama di rumah ini Papa tidak mengizinkanku keluar tanpa kawalan Ardian. Jadinya pertemuan dengan Kak Citra ̶ manajer restoran tempat aku akan bekerja nanti ̶ diundur sampai Papa dan Ardian pulang.
"Fanya... bangun," seru Papa disusul bunyi pintu yang dibuka. "Sarapan."
Dengan berat hati, aku terpaksa membuka mata dan langsung disambut Papa yang ternyata sudah duduk di sisi tempat tidur, menatapku dengan mata yang disipitkan.
"Papa sarapan duluan. Fanya masih mau tidur dua jam lagi," kataku malas-malasan.
"Nggak bisa. Kamu harus bangun."
Aku menggeleng dan kembali memejamkan mata.
"Kamu kebiasaan bangun siang, mau jadi apa?"
Jadi gara-gara aku bangun siang, bukan manusia lagi? Nada bicara Papa seakan-akan aku menjadi makhluk lain.
"Kamu keras kepala, ya!" Secepat kilat Papa menyibakkan selimut. Saat mataku terbuka, aku sudah berada di punggung Papa.
Papa membawaku menuruni anak tangga. "Pa, turuni Fanya. Fanya bisa jalan sendiri." Jujur saja, digendong seperti ini aku seperti anak berusia enam tahun saja. Meskipun tidak ada orang lain yang melihat, aku malu.
"Kamu ingat, dulu waktu masih kecil sering minta gendong Papa?"
"Itu kan dulu, Pa."
"Tapi Papa masih menganggap kamu seperti dulu," kata Papa seolah mempertegas kalau aku masih anak kecil di matanya.
"Pa, turuni Fanya," pintaku lagi. Kaki Papa terus melangkah ke dapur. Papa mendudukkanku di kursi kayu di tengah dapur. Di meja ada dua mangkuk bubur ayam dan segelas susu cokelat.
Papa menarik kursi di hadapanku dan duduk, lalu menandangi wajahku cukup lama. "Ikut Papa pulang, ya."
Tanganku hendak mengambil sendok terhenti di udara. Kalau tujuan sarapan ini untuk mengajakku pulang, lebih baik aku tidak sarapan.
"Pa, Fanya mau di sini dulu. Lagian juga Fanya udah punya kerjaan di sini."
"Kerja apa?" Lagi-lagi pertanyaan itu. Kali ini aku tidak bisa mengelak.
"Waitress."
"Kamu nggak boleh kerja!" Papa membuka dompet, mengambil ATM dan menyodorkannya padaku. "Papa sudah yakin kamu nggak mau pulang, jadi..." Papa menarik tanganku, meletakkan kartu itu di telapak tangan.
Aku menatap ATM dan Papa bergantian.
"Jadi kamu nggak usah kerja, pakai itu kalau mau beli sesuatu yang kamu butuhkan. PIN-nya tanggal ulang tahun Mama kamu. Papa hanya kasih kamu waktu dua minggu tinggal di Medan."
"Dua minggu terlalu singkat, Pa." Aku memberengut. Waktu sesingkat itu tidak cukup untuk mencari Steven.
"Satu bulan."
Aku menggeleng. "Tiga bulan."
"Nggak bisa! Cepat habiskan sarapanmu lalu minum obat." Papa menyendok bubur dan memasukkannya ke mulut.
"Obatnya sudah habis, Papa." Obatnya benar-benar sudah habis, habis aku buang maksudnya. Aku mendorong mangkuk dan berkata, "Kalau Papa nggak mengizinkan Fanya tinggal tiga bulan di sini, Fanya nggak mau sarapan."
"Kamu berani melawan?" Papa membanting sendok. Tidak mau kalah, aku membanting ATM ke atas meja.
"Kapan Fanya nggak menurut sama Papa? Sekali aja, mohon izinkan Fanya tinggal di sini." Suaraku melemah di kalimat terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double S
RomanceSetelah empat tahun berpisah, aku tidak bisa melupakan Steven dan rasa cintaku padanya membawaku kembali ke kota ini lagi dengan harapan bisa bersamanya lagi. Aku mengira cintaku pada Steven tidak akan pernah berubah. Tapi pada akhirnya aku tersadar...