Bab Empat Belas-Pengakuan Cindy

5 1 0
                                    

Tante Arista masih cantik seperti dulu aku bertemu dengannya saat semester satu. Senyumannya yang hangat dan suaranya yang lembut, aku ingin Tante lama-lama di dekatku. Rasanya ingin terus sakit agar dirawat oleh Tante. Hari ini, akhirnya tangan kiriku bisa bergerak bebas. Di satu sisi, aku tidak tahu lagi kapan bisa berlama-lama dengan Tante Arista.

"Papa kamu tau kamu sakit?" tanya Tante sambil menyelimutiku. Matanya menyapu sekeliling kamar seperti ingin memastikan sesuatu. "Steven Lee merawat kamu dengan baik?"

"Papa nggak tau Fanya sakit dan bos merawat Fanya dengan baik. Memangnya kenapa, Tante?"

Tante Arista tersenyum penuh makna, lalu Tante menyambar tasnya di ujung tempat tidur dan mengecup keningku. "Istirahat yang cukup, sayang. Dan..." Tante mengangkat kedua tangannya, melarangku bangkit. "Kamu harus istirahat. Tante bisa pulang sendiri."

Aku hanya terdiam melihat Tante Arista melambaikan tangan sebelum menghilang di balik pintu. Dalam kepalaku, aku membayangkan memiliki Mama seperti dia. Andai saja itu kenyataan.

Ponsel di sebelahku berdering.

"FANYA.. KAU DI MANA?"

Aku sampai harus menjauhkan ponsel dari telinga. Aku tidak mau pendengaranku sampai rusak gara-gara teriakan panik di ujung sana.

"Kenapa?" Aku malah balik bertanya dengan nada santai.

"Fan, ini penting. Masalah Steven dan Cindy. Aku mau jelasi secara langsung. Kau di mana?"

Aku terkikik. Jun terlambat mengetahuinya. "Kau tau kompleks perumahan rumah papaku, kan?"

"Ya. Kau di rumah papamu?" Nada panik tadi berubah jadi heran.

"Nggak. Aku di rumah bosku. Tapi aku nggak tau rumahnya ini nomor berapa. Pokoknya ada pos satpam di depannya."

"Eh, Fanya. Kau tau, kan itu kompleks perumahan yang kayak mana? Hampir setiap rumah ada pos satpamnya!"

Lagi-lagi aku harus menjauhkan ponsel dari telinga. "Nanti aku kirimkan nomor telepon bosku. Tanya sama dia rumahnya nomor berapa."

Sebelum terdengar respons di ujung sana, aku memutuskan sambungan dan mengirimkan nomor telepon bos pada Jun melalui pesan singkat. Sejenak aku menatap layar ponsel sebelum meletakkannya di atas meja di samping tempat tidurku dengan hati-hati.

Lama-lama bosan juga terus berada di kamar. Aku menurunkan kakiku ke lantai. Dahiku berkerut samar saat akan mengenakan sandal berbetuk kepala panda di bagian depannya dan aku tersadar, tadi malam aku tidak mengenakan sandal ini, bahkan benda ini tidak ada di kamarku. Pasti bos yang menukarnya.

Setelah beberapa saat berdiri menyeimbangkan tubuh, aku keluar dari kamar, menuruni anak tangga dan mencari bos. Sepanjang mata menandang, orang yang aku cari tidak ada. Aku mencarinya tanpa tahu seluk-beluk rumah ini. Aku membuka pintu geser ̶ yang terbuka sedikit ̶ dari kayu dan langsung disambut dengan kolam renang indoor. Aku melongokkan kepala, ternyata bos sedang berenang.

Ketika aku menggeser pintu lebih lebar hendak masuk, bos langsung menghentikan kegiatannya. "Shiafanya," panggil bos, setengah tubuhnya masih berada di bawah air. "Kau sudah baikan? Tadi sepupumu yang bernama Jun menelepon, katanya dia mau ke sini." Dia menunjuk ponsel di meja bulat dekat pinggir kolam dengan dagunya. Lalu bos mengangkat tangannya, "Kemarilah."

Aku menurut dan duduk di kursi di samping meja. Berikutnya, bos keluar dari kolam renang. Aku memalingkan wajah sebelum bos benar-benar naik ke tepi dan duduk di sana.

"Kenapa? Kau malu melihatku hanya mengenakan celana renang pendek." Nada bicara bos seperti meledek, "Kau tidak biasa melihat laki-laki dengan pakaian minim?"

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang