Fanny, anak itu entah kenapa jadi manja denganku. Salah satu contohnya hari ini dia minta aku menjemputnya di kampus. Jalan kaki di bawah teriknya matahari yang membuat rambutku panas seperti disetrika.
Dari kantin asrama putri selesai makan bakso tadi sebenarnya aku ingin naik becak motor, lumayan menghemat tenaga. Tapi Fanny dengan slogannya 'anak kos harus hemat', anak itu memaksaku jalan kaki.
Aku tidak keberatan mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah asalkan bisa dengan selamat sampai tujuan tanpa mengeluarkan energi yang berlebih menapaki jalan gang yang sempit. Fanny menularkan kebijakannya itu padaku dengan sedikit memaksa.
"Jalan itu sehat," serunya penuh semangat.
"Lebih baik tenaga kamu disimpan untuk pertandingan basket nanti, ya." Aku mengacak-acak rambutnya. Dia malah terlihat senang aku melakukannya.
"Sayang nanti Kakak nggak bisa lihat aku tanding." Terdengar nada sedih dalam suaranya. Sambil terus berjalan, dia mengangkat tanganku dan meletakkannya di atas kepalanya. "Wow, mobil siapa di depan kos kita? Kayaknya bukan punya Ibu kos." Fanny memandang lurus ke depan, langkahnya melambat.
Aku mengikuti arah pandanganya. Fanny menarik lenganku dan dia berderap amat pelan ketika melewati Lexus hitam itu.
"Kita nggak usah ke kos ya, kita ke warung mi Aceh, kita makan lagi," ajakku sambil menarik tangan Fanny.
"Kakak ini apa-apaan? Aku tau Kakak makan nggak banyak, lagian warungnya masih tutup jam segini."
Aku baru ingat, warung itu buka sekitar jam empat sore. Sebaiknya aku diam saja dan mengekor di belakang Fanny yang menggeser pintu gerbang sampai bunyi gesekan antar besi yang memekakkan telinga terdengar.
Tidak ada siapa pun di teras. Memang pintu rumah Ibu kos terbuka lebar, tapi tidak menandakan ada tamu yang datang. Hanya ada sepatu pantofel hitam di depan pintu.
Fanny masih celingukan berdiri di depan teras ketika sosok yang tidak asing belakangan ini muncul dari dalam rumah dengan senyum yang tersungging di bibirnya sampai menampakkan lesung pipinya. Seketika, aku ingin menghilang dari hadapannya.
"Shiafanya."
Aku menunduk. Aku masih tidak berani menatap matanya. "Iya, bos."
Fanny menyenggol lenganku. "Bos? Dia aktor Korea, kan?"
"Bubble tea."
Refleks aku mendongak. Detik berikutnya aku menatap ke arah lain. Aku meremas ujung blus untuk menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba menyerang.
"Jadi bos datang ke sini karena itu?"
"Iya. Aku tidak akan tenang sebelum membalasnya. Kita pergi sekarang?"
"Dia juga ikut." Aku menunjuk Fanny. "Dia harus ikut."
"Tidak masalah," sahut bos santai.
"Tapi aku nggak bisa. Nanti ada pertandingan basket antar Fakultas."
Terima kasih Shifanny, penjelasan singkatmu memperjelas kalau aku dan bos pergi berdua.
***
"Milk tea," jawabku ketika bos bertanya padaku mau pesan minuman yang mana. Aku mencari meja di sudut dan duduk di kursi yang mengahadap orang-orang yang berlalu-lalang.
Bos duduk di depanku, menghalangi pandanganku. Sudah memaksaku, sekarang dia mengganggu satu-satunya hiburan yang bisa aku dapat di tengah situasi seperti ini.
"Kau sudah haus?"
Aku menggeleng. Tidak ada yang berbicara sampai pesanan kami siap. Bos menyodorkan minuman yang aku pesan tadi sambil berguman, "Akhirnya aku bisa membalasnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Double S
RomanceSetelah empat tahun berpisah, aku tidak bisa melupakan Steven dan rasa cintaku padanya membawaku kembali ke kota ini lagi dengan harapan bisa bersamanya lagi. Aku mengira cintaku pada Steven tidak akan pernah berubah. Tapi pada akhirnya aku tersadar...