Aku melirik ponsel yang aku letakkan di atas meja kecil milik Fanny. Satu harian ini Steven tidak menghubungi aku. Sejak pulang kerja aku mencoba menghubunginya tapi tidak diangkat. Sampai-sampai aku datang ke kamar Fanny meminjam ponselnya untuk menghubungi Steven dan tetap tidak diangkat.
"Kak, kawani aku tidur malam ini ya," seru Fanny tiba-tiba sambil menutup laptop di pangkuannya. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam.
"Kita mau beli makan di mana dulu. Kakak tau Fanny udah mengantuk, tapi harus mak ̶ "
Ponselku berdering. Dari Steven.
"Kita makan di luar," kata Steven di ujung sana sebelum aku mengucapkan 'halo'.
"Kenapa tiba-tiba kita makan di luar? Aku udah janji sama adik kos, atau dia boleh ikut?" Aku melihat perubahan wajah Fanny yang jadi cemberut.
"Nggak. Cuma kita berdua. Sekarang aku di depan gerbang."
Dan sambungan terputus.
Ya, aku memang ingin mendengar suaranya hari ini, tapi bukan ajakan makan malam yang tiba-tiba seperti ini. Aku merasa tidak enak membuat adik kos kesayangku ini makan sendirian.
"Kalo mau makan di luar nggak apa-apa, Kak. Aku bisa makan sendiri." Dia bangkit dan menyambar jaket di gantungan balik pintu. Dia berteriak dari kamarnya yang paling ujung, "Siapa yang mau beli makan? Bareng..."
"Fanny.. ayo berangkat sekarang." Entah dari kamar yang mana menyahut dengan teriakan.
Aku kembali ke kamarku, ganti baju yang pantas untuk keluar. Tidak mungkin aku menemui Steven dengan celana pendek dan kaos supertipis. Saat aku turun ke lantai bawah, Steven langsung menggenggam tanganku dan berjalan menuju depan gang. Steven masih mengenakan jas dan wajahnya terlihat lelah dan agak pucat. Aku ragu dia sedang dalam keadaan baik-baik saja. Ditambah lagi tangannya yang biasa hangat terasa agak dingin.
"Aku nggak sakit," serunya sambil tersenyum.
"Dari mana kamu tau pertanyaan yang baru aja mau aku katakan?" Sebelah alisku terangkat heran.
"Wajah kamu nggak bisa menyembunyikan isi hati."
Aku mengatup mulutku rapat-rapat, sementara Steven tertawa riang. Dia kelihatan senang sekali bisa mengatakan seperti itu dan dia benar. Ya, memang benar aku sulit menyembunyikan isi hatiku. Aku sadar hal itu karena Mei yang terang-terangan memberi tahu aku waktu semester satu. Terkadang sifat sendiri malah orang lain yang lebih tahu.
Wajah Steven masih terlihat pucat tapi sudut bibirnya tertarik ke atas. Aku mengambil kunci dari saku kiri celananya ̶ aku tahu kebiasaaan Steven menyimpan kunci. Percuma kalau aku bertanya 'Kamu nggak apa-apa' pasti jawabannya 'Nggak apa-apa'.
"Biar aku aja yang nyetir," ujarku. Aku berjalan selangkah di depannya.
"Mana bisa aku membiarkan perempuan menyetir untukku." Suaranya yang lembut mampu membuatku terdiam dan melepaskan kunci dari genggaman.
Dia menarik lenganku karena aku masih mematung di tempat. Perlahan tangannya mulai menghangat. Jujur saja, aku lebih nyaman jika seperti ini. Ketika Steven melepaskan genggamannya untuk membukakan pintu, aku menahan diri untuk tidak menarik tangan itu.
"Fanya...." panggil Steven setelah mobil melaju di jalan raya. Steven menatapku sekilas lalu fokus mengarahkan pandangannya ke depan. "Kita mau makan apa?"
"Aku pengin ramen dan sashimi"
Aku yakin Steven tahu maksudku mau makan di mana, yang pasti tidak di Kimchi Corner. Untuk sementara aku tidak ingin terlibat dengan pemillik restoran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double S
RomanceSetelah empat tahun berpisah, aku tidak bisa melupakan Steven dan rasa cintaku padanya membawaku kembali ke kota ini lagi dengan harapan bisa bersamanya lagi. Aku mengira cintaku pada Steven tidak akan pernah berubah. Tapi pada akhirnya aku tersadar...