Aku menatap sinis jarum infus yang tertancap di tangan kiriku dan mengerucutkan bibir, lalu menatap Mei yang duduk di ujung tempat tidur. Sahabatku itu setengah tertidur sampai dia tidak sadar aku sudah bangun dan bersandar di kepala tempat tidur. Tanganku yang terulur tidak sampai untuk menarik rambut Mei, mau memanggilnya tidak ada suara yang keluar dari mulutku.
Entah bagaimana ceritanya sampai jarum infus ada di tanganku dan entah berapa lama aku terbaring. Tapi dilihat dari cahaya yang menembus jendela kamar, sekarang sudah siang dan aku pingsan sejak tadi malam, itu hanya perkiraanku.
"Mei... Shiafanya sudah bangun." Bos tergopoh-gopoh menghampiriku. Meletakkan telapak tangannya yang hangat di dahiku. Bos menghela napas lega sambil tersenyum sampai lesung pipinya kelihatan.
Mei tiba-tiba memelukku erat sampai aku kesulitan bernapas. Setelah melepaskan pelukannya, Mei menangkupkan kedua tangannya yang sangat dingin di pipiku.
"Fan... aku takut kau kenapa-kenapa. Aku tau kau lemah. Dulu papamu diam-diam sering minta aku mengawasi kesehatanmu." Mei menyeka air mata yang mengalir di pipinya dengan punggung tangan.
Mataku mulai berkaca-kaca. "Mei, maaf buat kau khawatir," kataku dengan suara yang serak dan nyaris seperti bisikan.
"Selain aku yang panik," Mei menunjuk ke arah bos yang berdiri di sisi tempat tidur, "Steven-ssi dan Chris juga panik. Steven-ssi mau bawa kau ke rumah sakit, tapi karena aku tau betul kau benci rumah sakit dan bau obat, akhirnya kami memanggil mamaku kemari."
Andai saja pingsan bisa memilih tempat dan situasi, pasti tidak merepotkan orang lain. Sampai Mei memanggil mamanya membuat aku sangat segan pada Tante Arista.
Chris tiba-tiba masuk dan membawa semangkuk bubur ayam yang langsung disodorkan padaku. Matanya yang sebiru langit menatapku dalam-dalam.
"Antara kau, Steven dan Cindy memang hubungan kalian menjadi rumit dan menyakitkan, tapi bukan berarti kau mengabaikan kesehatanmu," serunya dengan bahasa Indonesia yang lagi-lagi membuat aku terkagum seperti saat pertama kali bertemu dengannya.
"Terima kasih, Chris. Mei beruntung memiliki calon suami sebaik dirimu," kataku sambil menyunggingkan senyum lebar.
Tahu-tahu bos duduk di sampingku, mengambil mangkuk dalam genggaman Chris. Bos menyendok bubur dan meniupnya, lalu menyodorkannya padaku. "Coba katakan 'A' yang lebar," perintahnya seperti akan menyuapi anak kecil. Aku menggerutu tidak jelas tapi akhirnya menurut.
Tidak mau diam saja, Mei ikut menyuapiku, dan Chris juga. Aku dibuat seperti anak kecil yang kelaparan. Sudut bibirku tertarik ke atas melihat wajah panik dan sedih mereka tadi digantikan oleh senyuman dan tawa. Aku tidak sadar, selama ini aku memiliki orang-orang yang perhatian padaku.
***
Yang aku lakukan saat bos memberikan ponselku adalah menelepon Papa. Untunglah pulsanya mencukupi. Aku hanya memastikan aku baik-baik saja pada Papa dan saat aku mengatakan ingin pulang, Papa bersorak riang di ujung sana.
Setelah tahu hubungan Steven dan Cindy, untuk apalagi aku di sini. Tujuan aku ke Medan untuk bertemu Steven dan bersamanya lagi.
Saat aku menelepon Fanny, anak itu mengatakan setiap hari Steven datang ke kos untuk mencariku. Bahkan Steven datang ke kampus Fanny menanyakan aku ada di mana. Fanny yang waktu itu belum aku tinggal di rumah bos untuk beberapa lama, dia malah meminta Steven membawaku pulang karena sudah sangat merindukanku. Aku meminta Fanny tutup mulut dan berpura-pura tidak tahu aku ada di mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double S
RomanceSetelah empat tahun berpisah, aku tidak bisa melupakan Steven dan rasa cintaku padanya membawaku kembali ke kota ini lagi dengan harapan bisa bersamanya lagi. Aku mengira cintaku pada Steven tidak akan pernah berubah. Tapi pada akhirnya aku tersadar...