Dari luar terdengar suara orang bernyanyi dengan merdu yang aku yakini berasal dari kamar sebelah kiri, tepatnya kamar ke empat dari tangga. Hampir setiap pagi, tepatnya pukul enam lewat tiga puluh menit.
Aku meraba bawah bantal, selama beberapa detik benda yang aku cari tidak ketemu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, aku mencari ponsel di dalam selimut. Untunglah benda itu aku temukan, ternyata terselip di antara kasur dan dinding. Tidak ada pesan maupun telepon masuk.
Suara nyanyian digantikan bunyi pintu yang ditutup dan kunci yang diputar, kemudian tidak lama setelah itu terdengar langkah kaki yang menjauh. Ketika aku bangkit hendak ke kamar mandi untuk mencuci muka, ada yang mengetuk pintu kamarku.
Aku menatap nanar pintu, siapa pagi-pagi yang sudah mengganggu? Sebelah kakiku sudah masuk ke kamar mandi ketika suara berdeham yang tidak asing terdengar.
"Fanya..."
Aku membeku di tempat. Mendadak tanganku dingin dan jantungku berdebar tidak keruan karena takut.
"Buka pintunya. Papa tau kamu di dalam."
Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku membuka pintu dan langsung disuguhkan wajah Papa yang memberengut. Pintu sengaja aku buka lebar-lebar, Papa disambut dengan kekosongan kamarku. Hanya ada kasur, rak buku yang kosong, dispenser yang dipinjamkan Ibu kos dan koper yang aku letakkan di sudut kamar.
Sebelum masuk, Papa memindaiku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Papa duduk bersila di atas kasur yang seprainya kusut. Tapi tampaknya Papa tidak keberatan, Papa melambaikan tangannya menyuruh aku mendekat. Aku menurut dan duduk di sebelahnya.
Dari jarak yang sedekat ini aku bisa melihat wajah Papa yang sedikit gusar. Rahangnya mengeras dan mulutnya terkatup rapat. Mata tajam milik Papa yang tidak diwariskan ke aku itu menatapku, spontan aku terlonjak.
"Kenapa kamu kabur? Kenapa kamu ganti nomor handphone? Supaya Papa nggak bisa telepon kamu maksudnya?" Suara Papa yang parau membuatku menciut. Papa yang terus menatapku tajam membuat aku tidak berani menjawab. "Fanya!"
"Fanya nggak mau dijodohkan sama Ardian," kataku dengan sekali tarikan napas.
"Tapi nggak seperti ini juga caranya. Sekarang kamu ikut Papa pulang!" Papa bangkit dan menarik tanganku.
Aku mengumpulkan keberanian menatap langsung ke dalam mata Papa. Papa balas menatapku dengan dagu yang diangkat tinggi. Tangan Papa yang besar semakin kuat mengcengkeram sampai aku meringis kesakitan.
"Kamu nggak mau menurut sama Papa?"
"Kenapa Papa cari Fanya?" Aku balas bertanya dengan suara tercekat. "Fanya udah nulis di surat, Papa jangan cari Fanya."
Cengkeraman tangan Papa mengendur. "Papa nggak mungkin biarkan kamu pergi tanpa kabar. Dan juga kenapa kamu ke Medan?"
"Papa kok bisa tau Fanya ke sini?" Lagi-lagi aku balas bertanya. Sebelum Papa membuka mulut aku melanjutkan, "Tau dari Jun? Ibu kos?"
"Kamu nggak perlu tau."
Tidak ada yang bersuara setelah itu. Aku sibuk berpikir bagaimana Papa bisa tahu aku ke Medan.
Papa kembali duduk di atas kasur. "Sekarang, apa yang mau kamu lakukan di sini?" tanya Papa tiba-tiba.
"Fanya pengin tinggal di Medan untuk sementara, Fan ̶ "
"Karena menolak perjodohan?"
Aku mengangguk.
"Atau karena seseorang dari masa kuliah dulu?" Papa tampak menebak-nebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double S
RomanceSetelah empat tahun berpisah, aku tidak bisa melupakan Steven dan rasa cintaku padanya membawaku kembali ke kota ini lagi dengan harapan bisa bersamanya lagi. Aku mengira cintaku pada Steven tidak akan pernah berubah. Tapi pada akhirnya aku tersadar...