Bab Enam-Kimchi Corner

16 3 0
                                    

Restoran buka pada pukul sebelas, tapi aku sudah datang pukul delapan pagi. Suasana Kimchi Corner masih sepi, hanya ada beberapa pegawai yang sudah ada di sana. Tatapan bingung langsung menyambutku ketika tiba-tiba aku masuk dan bertanya pada salah satu pegawai perempuan yang sedang mengepel.

"Permisi," kataku sopan. "Manajer Citra sudah datang?"

Pegawai itu dan temannya yang lain saling melempar pandang.

"Manajer ada di dapur," sahut salah satu pegawai laki-laki yang mengelap meja.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku berjalan ke dapur sambil mengamati dekorasi restoran yang didominasi warna cokelat dan oranye. Di bagian dinding sebelah kanan ada lukisan dengan nuansa istana. Di bagian kiri tidak terdapat seperti di seberangnya, hanya ada kaca transparan yang begitu bening mendominasi. Di bagian luar ada beberapa meja, dengan kanopi yang menaunginya, sepertinya untuk smoking area.

Tidak sulit menemukan dapur di sini, karena dapur berdinding kaca transparan dan terdapat stiker besar gambar Kimchi yang mengahadap ke pintu masuk restoran. Kak Citra tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur dan memelukku sekilas.

"Akhirnya kamu datang juga, Fan." Matanya berbinar menatapku.

Belum sempat aku menanggapinya, Kak Citra menuntunku ke sebuah ruangan. Di sana dibedakan tempat laki-laki dan perempuan yang penuhi loker.

"Ini ruangan untuk pegawai." Kak Citra mengambil seragam dari loker paling ujung dan menyerahkannya padaku. "Selama seminggu ini, kamu dalam pengawasan Kakak, ya semacam masa percobaan. Seminggu ini kamu mau shift pagi atau siang?"

Aku mengangguk. Mulai hari ini, aku menjadi pegawai restoran ini. Mataku melebar mendengar tawaran Kak Citra. "Memangnya boleh milih, Kak?"

"Khusus untuk kamu."

Jujur, dalam hati aku senang, tapi tidak enak dengan pegawai yang lain, yang tidak bisa memilih seperti aku. "Terserah Kakak, Fanya menurut aja."

"Pagi aja, ya. Datang jam delapan."

Aku mengangguk lagi. Namun tatapanku tertuju pada seragam yang terlipat rapi di tanganku.

***

"Kau kerja? Bukannya papamu melarang," ujar Cindy kaget. Dia meletakkan cangkir teh dan menatapku dalam-dalam meminta penjelasan. Bahkan dia menyuruh pegawai butiknya sedang di ruangannya keluar.

"Sebenarnya nggak boleh, bahkan Papa menyuruh aku berhenti sebelum aku kerja."

Cindy menatapku tidak percaya. Dia pindah ke sebelahku. "Kenapa nggak di butikku aja, Fan? Di sini kau bisa sekalian kawani aku."

Aku meringis. "Jadi nggak enak nanti kalau aku di sini, kita kawan. Dan aku jadi bawahanmu dan kau jadi bosku, itu bisa membuat persahabatan kita berantakan."

Cindy menyeringai lebar. Dia menggamit lenganku dan membawaku keluar ruangan. Dengan penuh semangat, dia memilihkan blus di rak gantung. "Kalo yang ini." Dia mendekatkan blus hijau muda ke dekatku, lalu meletakkannya kembali ke rak dan mengambil blus merah. "Yang ini nggak," ucapnya pada diri sendiri.

"Cindy... kau ngapain sebenarnya?"

"Memilihkan pakaian untuk kau, Fanya. Oh, ya kita makan malam di luar, yuk. Aku yang traktir."

"Maaf, Cindy. Aku udah ada janji sama Steven." Aku memeluk sahabatku, bermaksud membagi kebahagiaan. "Aku dan Steven udah balikan." Aku melepas pelukan. Wajah Cindy nyaris tanpa ekspresi. "Cindy..." panggilku hati-hati, mungkin saja dia sakit hati karena aku lebih memilih makan malam dengan Steven daripada bersamanya. "Kita makan malam bertiga, oke? Tadi Steven SMS, sebentar lagi dia ke sini."

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang