Stephani Yolanda.
"Pani, kamu baik-baik saja, bukan? Kenapa tidak fokus hari ini?" suara tanya dari Tika membuatku tersentak kaget dari lamunan.
"Ah, tidak apa-apa hanya sedikit khawatir tentang kuliah saja," jawabku sambil tersenyum manis padanya, menampilkan bahwa aku baik-baik saja. Perkataanku tidak salah, aku memang mengkhawatirkan kuliah tapi yang menganggu pikiran dan hatiku adalah beberapa saat yang lalu saat di kontrakan.
Hari ini seperti biasa, ku awali dengan basmallah dan senyum dibibir. Suara ketukan tiga kali di pintu membuatku harus meninggalkan kamar menuju kedepan.
Ketika membuka pintu terlihat seorang lelaki gagah sekitar umur empat puluh keatas dengan setelan jas yang bisa aku tafsir kan harganya selangit, bukan hanya itu mungkin harga jam tangan maupun yang lainnya juga fantastis. Dia terlihat keren diusia yang tidak lagi muda.
"Benar ini tempat tinggal atas nama nona Stephani Yolanda?" suaranya sopan tapi terkesan dingin. By the way, dia mirip dengan Ryan. Aku jadi kangen dengan dia, sudah hampir seminggu kami tidak bertemu.
"Iya, dengan saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?" tanyaku sopan dan ramah. Dari penampilan dan wajahnya, aku bisa memastikan dia tidak ada niat jahat. Kalaupun ada pasti dia tidak bisa macam-macam, sebab sekali aku berteriak maka penduduk sekitar akan segera datang.
Dia terlihat mengangguk singkat. "Bolehkah kami masuk? Ada yang ingin dibicarakan."
Saat dia bilang seperti itu, aku baru sadar bahwa dia tidak hanya sendirian melainkan bersama dengan seorang wanita muda cantik, tubuh yang menurutku ideal untuk para perempuan. Mungkin juga dia tidak kalah berduit dengan lelaki tadi.
"Ah, maafkan saya. Silahkan masuk," ujarku merasa bersalah.
Aku persilahkan mereka untuk duduk dan permisi kebelakang sebentar menyiapkan minum serta makanan ringan yang sempat ku beli kemarin sore setelah pulang bekerja.
"Silahkan diminum dan dimakan. Maaf hanya bisa menyediakan ini saja."
"Tidak apa-apa, mbak." suara lembut yang feminin terdengar oleh ku.
"Kamu pacar Ryan Putra Arifin, bukan?" tanya sosok lelaki tersebut.
Aku mengangguk, menjawab pertanyaan kecil dari lelaki tersebut, cukup tersentak kaget dia mengetahuinya.
"Saya Ayahnya pacar kamu!"
Aku sedikit menganga tidak percaya, bahwa lelaki di depan ku sekarang adalah Ayah Ryan.
Berdeham pelan, sebelum menampilkan senyum terbaik yang ku punya. "Apa ada yang ingin dibicarakan tentang Ryan?"
"Saya tidak mau terlalu basa-basi. Saya datang kesini karena ingin kamu menjauh dari Ryan..." kalimatnya dijeda, tapi ini sudah membuatku tambah syok. Aku atur napasku sesaat, menunggu kalimat selanjutnya. "Mungkin ini terdengar saya begitu jahat memisahkan kalian. Tapi, keadaan perusahaan kami sedang dalam masa kritis dan wanita disamping saya adalah yang akan menolong perusahaan kami dengan menikahkan Ryan."
Menikah dengan Ryan.
Menikah dengan Ryan.
Kalimat tersebut menggema dipikirkan ku, terus menerus. Dada ku begitu sesak, ini begitu sakit. Tolong.
"Saya menunggu keputusanmu dalam dua hari kedepan," ujarnya tegas dan meninggalkan rumah ku.
"Aku minta maaf, mbak." wanita muda nan cantik tadi menundukkan sedikit badannya, sebelum mengikuti jalan lelaki yang tidak lain Ayah Ryan.
Sekarang aku hanya bisa menangis, dulu sempat berpikir -menegaskan- pada diri sendiri untuk mencarikan Ryan sosok wanita lain. Tetapi, mengapa sekarang saat datang wanita tersebut, hatiku sakit dan tidak mau melepaskannya?
Bagian dadaku begitu sesak, tapi bukan sesak karena penyakit seperti biasanya. Ini bahkan lebih menyakitkan daripada penyakit tersebut.
Dua hari! Aku hanya butuh dua hari untuk memberikan keputusan tersebut. Bagaimana ini? Keputusan mana yang harus aku ambil?
"Are you okey? Cerita saja sama aku, kalau kamu tidak bisa memendamnya sendiri."
Aku menyekap air mata, memandang kearah Tika yang masih berada disampingku. Tanpa aba-aba aku langsung memeluknya erat, Tika hanya mengelus pundak ku memberikan ketenangan.
Apakah mungkin karena ini masalah pacaran? Yang mana didalam agamaku sendiri, tidak memperbolehkan tapi aku sok alim, sok baik didepan orang. Tetapi, dosa besar dari pacaran, membuat hubungan kami memang harus berakhir seperti ini kah?
"Terima kasih, Tika." kataku tulus. Dia mendorong pelan keningku, "kamu ini seperti sama siapa aja. Aku ini sahabat kamu ya, jadi kalau ada apa-apa langsung ngomong aja jangan seperti tadi buat aku khawatir." cerocosnya membuatku tertawa pelan.
"Hehehe... Maafkan aku sahabatku yang terbaik," ujarku memeluknya kembali dan berlari menjauh darinya menuju lift untuk kelantai atas.
Terdengar tawa dari belakang ku, "dasar." kalimat yang sering Tika keluarkan saat aku bersikap seperti ini.
Aku melihat kebelakang, melambaikan tanganku sambil melanjutkan lari kecilku.
~~~
Setelah dua hari, memikirkan semuanya, Pani mantapkan hatinya, bahwa keputusan ini adalah keputusan terbaik yang pernah dia buat.
Sekarang dia dan Ayah Ryan serta wanita muda kemarin berada direstoran yang ada di morgan house. Pani memilih tempat ini, selain karena masih harus berkerja tapi juga tempat ini terbaik untuk membicarakan hal serius.
"Apakah kamu sudah membuat keputusan?" tanya Ayah Ryan menghilangkan keheningan diantara mereka.
Pani menegakkan kepala memandang mereka berdua, setelah tadi membalas singkat pesan yang masuk atas nama kaptennya itu.
Dia tersenyum dan mengangguk mantap. "Aku akan selalu bersama Ryan!"
Ayah Ryan cukup terkejut, dia terlihat menghela napas sesaat. "Saya tau itu pasti keputusan kamu," ucapnya dengan nada lesu.
Pani menggeleng pelan dengan tetap Memperlihatkan senyum manis di bibirnya. "Tidak sepenuhnya seperti yang Om pikirkan. Keputusan sesungguhnya bukan ada pada aku, tapi pada anak Om sendiri. Sebab, dia yang menjalankan hidupnya, dia yang harus memilih bukan aku."
Dia mengambil napas sebelum menghembus kan nya secara perlahan. "Keputusan apapun yang dipilih oleh Ryan, aku akan tetap mendukungnya. Apapun itu!"
Ayah Ryan dan wanita tersebut terlihat terkejut mendengar kalimat Pani. Merasa penasaran, wanita tersebut bertanya, "Mbak, tidak mencintai Kak Ryan?"
Senyum perempuan berhijab hitam tersebut masih tetap terpatri di bibirnya. "Bukan masalah cinta atau tidak, tapi ini memang bukan waktunya aku membuat keputusan untuk hidup seseorang."
Dia berdiri dari tempat duduknya, sedikit membungkukan badannya. "Maaf semua, masih ada pekerjaan yang harus aku lakukan. Kalau begitu permisi dahulu." setelahnya dia melangkahkan kakinya menjauh dari kedua orang tersebut.
Dia menarik napas dalam-dalam, berkata pada dirinya sendiri. "Untuk pertama kalinya aku berbicara seperti ini!"
![](https://img.wattpad.com/cover/218385340-288-k271644.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
semangat kapten ✔
Romance[Follow dulu sebelum baca] Banyak orang iri dengan diriku, hanya karena pacarku seorang tentara. Padahal aku banyak kekurangan, baik bidang fisik maupun keluarga. Dia berjuang demi negara. Aku berjuang untuk tetap berdiri di sampingnya. Akan tetapi...