SK '17 |keluarga atau kekasih?|

107 13 4
                                    

Ryan Putra Arifin.

Langkah kakiku berjalan cepat menuju satu arah, yaitu ruang tamu. Baru saja pulang, sudah mendapat kabar penting dari Sang kepala keluarga.

Tidak ku pikirkan lagi sopan santun, yang ku inginkan sekarang adalah penjelasan dari mereka.

Saat sampai diruang tamu, kupandang semua yang ada disama dengan tajam, seakan-akan bisa membunuh mereka.

Orang tua ku yang melihatku langsung berdiri. Aku pandang mereka berdua sebelum melangkahkan kaki ke ruang keluarga, terdengar langkah kaki yang mengikutiku dari belakang.

"So, maksud kalian apa?"

"Begini caramu berbicara dengan orangtua!"

"Sayang, kita bicara baik-baik dulu, okey?" Ibu mencoba menenangkan kami antara anak dan Ayah, yang mana sama-sama keras kepala. Aku menghela napas kasar, mengalihkan pandangan dari mereka berdua.

"Bukan maksud kami..."

"Terus bagaimana maksud kalian? Menikahkan aku dengan orang yang tidak aku kenal dan tidak aku cintai?!" hardik ku. Mereka selalu saja mencari alasan demi alasan tanpa mau menjelaskan detail.

"Cinta? Bisa tumbuh seiring dengan jalannya waktu dan kebersamaan!"

Mendengar ucapan dari Ayah membuatku tertawa, lucu? Tentu saja Ayah hampir satu tahun pergi dari rumah, hanya tidak ingin dijodohkan. Hingga nenek dan kakek menyerah atas keras kepalanya. Heh? Sekarang dia berbicara seperti itu, bukankah itu lucu?

"Aku yang menjalankan hidup ini. So, all decisions are in my hands. Please respect that!" kataku sambil pergi dari sana, teriakan Ayah terdengar memanggil namaku. Sebelum Ibu berteriak memanggil Ayah dan menangis dengan histeris.

Aku kembali menghadap mereka, melihat Ayah yang berbaring dipangkuan Ibu dengan napas terengah-engah

"Ayah!" teriakku sambil berlari kearah mereka. "Ayah kenapa? Ayah baik-baik saja bukan? Kita kerumah sakit sekarang!"

Tanpa aba-aba aku langsung mengangkat Ayah, tenang tenaga aku masih kuat.

~~

Cemas melanda diriku, begitu khawatir dengan keadaan Ayah. Aku memang marah dengan sikap Ayah yang mau menjodohkanku tanpa seizin dengan status aku masih memiliki kekasih. Tapi, mau bagaimanapun tidak dipungkiri bahwa aku masih anaknya, darah dagingnya.

Dengan tidak sabaran, gelisah dan khawatir, aku dan Ibu terus menunggu hingga dokter keluar dari ruangan tersebut.

"Bapak Arifin mengalami serangan jantung, untung cepat dibawah kerumah sakit hingga mendapatkan pertolongan pertama. Kalau tidak, kami tidak tahu bagaimana kondisinya." kira-kira begitu katanya.

Deg.

Ibu langsung pingsan mendengar ucapan tersebut, aku membawa Ibu untuk beristirahat diruang khusus.

Aku menggeleng, tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter. Aku berjalan kembali ke ruangan Ayah, dia terlihat begitu lemah dengan beberapa alat bantu.

Sakit. Dadaku sesak melihat Ayah yang seperti itu. Air mataku jatuh dengan sendirinya, apakah aku ini memang anak durhaka yang sampai membuat Ayahnya berbaring lemah dan hampir kehilangan nyawanya?

Seseorang menepuk pundak ku, membuat aku menghapus air mata dengan kasar. Terlihat Ibu sudah sadar dan tegar menghadapi semua ini.

"Nak, Ibu ingin berbicara sebentar padamu, bisa?"

Aku mengangguk, mengangkuti langkah kaki Ibu yang ternyata membawaku ke ruangan tempat Ibu istirahat pasca pingsan tadi.

"Ryan, Ibu dan Ayah merasa bersalah dengan kamu. Memang benar seharusnya kami tidak mencampuri urusan kehidupan mu dengan siapa. Tapi... Ibu hanya bisa bilang... jangan membenci Ayahmu karena ini." Ibu terlihat lelah. "Kamu tahu, perusahaan dalam beberapa waktu kedepan tidak kondusif, perusahaan turun temurun yang sudah menghidupi beberapa generasi tersebut sedang dalam krisis. Ayahmu selalu berusaha mengembalikan seperti semula, dia berkerja keras bahkan dia tidur hanya satu atau dua jam saja."

Ibu mengelus kepala ku lembut seperti waktu kecil, sudah lama aku tidak merasakan seperti ini. Kupandang Ibu yang tersenyum manis, sama seperti senyum kekasihku.

"Kamu tahu apa yang dipikirkan Ayah mu kalau kita bangkrut atau jatuh miskin? Dia tidak apa-apa, dia masih bisa mencari pekerjaan lain atau mulai dari awal. Tapi, bagaimana dengan mereka yang berkerja di perusahaan, mereka yang bergantung pada kita?"

Aku diam. Ayah tidak pernah memaksa ku atas apa yang tidak aku sukai. Dia membebaskan ku untuk memilih pilihanku sendiri dan hari ini pertama kalinya dia memaksa ku atas keputusannya.

"Setengah karyawan yang berkerja dibawah wewenang kita adalah mereka yang menjadi punggung keluarga, mereka yang hidup dengan gaji ataupun uang pas-pas. Terus kalau sampai kita bangkrut, bagaimana dengan mereka?"

"Tidak usah terlalu dipikirkan, kami akan mencari jalan lain." Ibu menghela napas sesaat, dia menepuk punggungku pelan sebelum berjalan keluar ruangan.

Sekarang hanya tinggal diriku seorang dengan suasana sunyi, pikiran ku terus bercabang-cabang tidak menentu.

Apa yang harus aku pilih? Keluarga atau kekasihku?

Keputusan apa yang tepat ku ambil?

Bagaimana dengan mereka yang mengabdikan diri dan bergantung pada keluarga kami, bila bangkrut?

Apakah kali ini aku harus menyela pada cintaku?

Apakah ini akan menjadi akhir cerita kami berdua? Tapi aku tidak ingin berakhir seperti ini!

Apakah aku egois?

Hah! Aku tepis semua pikiran tersebut, mencoba tetap tenang.

Azan asar berkumandang, tidak terasa sudah sore hari. Masalah ini akan aku tahan terlebih dahulu, akan aku cerita kepada tuhan tentang apa yang sedang salah satu hamba-Nya ini hadapi.

~~

Hati dan pikiran ku menjadi lebih tenang setelah mencurahkan semuanya kepada Sang Maha Kuasa. Sekarang aku sudah bisa memikirkan keputusan apa yang akan di ambil.

Ketika sampai diruangan Ayah. Aku melihat keadaan Ayah yang sudah membaik, sedang berbincang kecil dengan Ibu.

Mata Ayah terlihat lelah dan penuh pikiran walaupun dia tersenyum manis kearah Ibu. Aku tidak sadar sama sekali, dengan apa yang ditanggung oleh Ayah selama ini. Sungguh, aku anak yang tidak berbakti pada orang tua.

"Ayah, Ibu?" panggiku pelan, mendekat kearah mereka berdua.

Ibu tersenyum padaku, Ayah? Mungkin dia masih kesal padaku, karena itulah dia tidak memandang kearah ku.

Aku menghela napas, memantapkan diri mungkin saja keputusanku kali ini akan menyakitkan hatiku dan kekasihku.

"Yah, Bu. Aku akan menyejutui perjodohan tersebut... Tapi, tidak dengan hatiku."

~~

semangat kapten ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang