Note: seperti judulnya diatas, maka chapter ini mengandung bawang. Dimohon untuk menyiapkan tisu dan hati kalian para pembaca!~~
Disebuah rumah sakit, didepan ruangan gawat darurat. Seseorang menunggu dengan cemas, keadaan Stephani Yolanda yang langsung drop. Sedangkan didalam ruangan tersebut, para dokter dan suster melakukan upaya semaksimal mungkin.
Tit... Tit... Tit...
Bunyi itu mengema, tapi mereka terus melakukan yang terbaik. Menggunakan alat pacu jantung, satu kali tidak adanya tanda-tanda, dua kali masih sama. Ketika yang ketiga kalinya, sama sekali tidak adanya respon.
Seorang dokter ingin mencoba kembali, tetapi rekannya menggeleng. Mengatakan, "innalillahi wa innalilahi Raji'un. Tanggal satu, bulan desember, tahun dua ribu sembilan belas, jam satu lewat lima belas menit. Atas nama Stephani Yolanda dinyatakan meninggal."
Deg.
Arya merasa ini hanya mimpi saja. Pani tidak mungkin meninggalkan mereka seperti ini. Ini tidak mungkin nyata!
Tapi, kenyataannya ini benar nyata bukan mimpi ataupun prank. Saat dia melihat Adiknya yang dibawa pergi untuk diurus.
Dia keluar dari ruangan tersebut, menemui seseorang yang sejak tadi menunggu dengan cemas. Ia peluk wanita tersebut, lidahnya keluh tidak bisa berkata apa-apa.
"Mas, bagaimana keadaan mbak pani?" tanya Andini merasa perasaannya yang tidak enak.
Arya melepaskan pelukan dari Istrinya, menggeleng pelan. "Dia... Sudah tidak ada lagi."
Andini mengguncang bahu suaminya. "Mas, katakan... Itu gak benar... Katakan!" tapi gelengan Arya untuk kedua kalinya, membuatnya lemas, tidak ada tenaga hanya untuk menompang dirinya sendiri hingga jatuh kelantai begitu saja. "Tidak mungkin... Ini pasti salah... Mbak Pani... Gak mungkin!"
Arya yang melihat istrinya menggeleng, menangis histeris. Segera membawanya kedalam dekapan. "Dia sudah tidak ada, sayang. Dia... sudah meninggalkan kita." gumamnya pelan ditelinga istrinya. "Mari kita urus yang lainnya dan... Dan ikhlaskan dia, seperti perkataannya beberapa hari yang lalu."
Arya mengepalkan tangannya erat, air matanya jatuh begitu saja. Mengapa tuhan mengambil dia begitu cepat? Mengapa tidak membiarkan dia merasakan bahagia diujung hidupnya? Mengapa?!
"Mbak... Pani... Hiks.. Hiks.."
~~
Eko dan Harumi -istrinya- berserta anak mereka sedang dalam perjalanan kerumah Ryan.
"Adek, jangan dimakan yang ini, gak boleh." istrinya menggerakkan jarinya ke kiri ke kanan pertanda tidak.
Eko melirik anak perempuannya yang menatap bundanya polos.
"Ini namanya buku untuk belajar bukan dimakan, ya dek?" anaknya menatap kearah lain, seperti ngerti yang dibilang bundanya.
Eko tertawa gemas meliha tingkah istri dan anak perempuannya. Mau gimana lagi, jarang-jarang bisa mempunyai waktu seperti ini. Jadi nikmati lah semua ini.
"Capek ya, ngurus anak perempuan kita." kata Eko, tangan kirinya yang bebas dari menyetir mobil mengelus pelan puncak kepala istrinya yang ditutupi oleh hijab.
Istrinya tersenyum lembut. "Kalau capek iya ada, tapi lebih banyak asiknya. Lagian juga yang paling capek itu kamu, bukan aku."
Eko tersenyum, dia bersyukur diberikan istri seperti Harumi. Banyak kekurangannya tapi juga banyak kelebihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
semangat kapten ✔
Romance[Follow dulu sebelum baca] Banyak orang iri dengan diriku, hanya karena pacarku seorang tentara. Padahal aku banyak kekurangan, baik bidang fisik maupun keluarga. Dia berjuang demi negara. Aku berjuang untuk tetap berdiri di sampingnya. Akan tetapi...